Waktu terus berjalan, mulai dari subuh hingga subuh lagi. Setiap detik itu sel-sel pada kulit mulai berkurang, keriput mulai menumbuh. Sampai suatu saat nanti, uban-uban mulai berceceran. Pada saat itu juga kita hanya perlu mengopi dan merokok---menunggu perintah Sang Khalik datang untuk pulang.
Sesaat, saya mengajak teman-teman untuk menziarahi---merefleksi ke dalam diri. Tentang apa-apa saja yang sudah dikerjakan, mulai sejak tangisan pertama hingga saat ini. Kalau boleh jujur, selama menggunakan umur yang telah diberi-Nya, apakah perbuatan baik yang kita lakukan sudah mencapai angka 50 persen?
Dalam melakukan sesuatu sudahkah kita berfikir, "Bahwa kita selalu berada dalam pengawasan-Nya?". Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, saya, kamu dan kita semua perlu melakukan tafakkur lebih intens. Menyelami diri sendiri dengan lebih mendalam; Tidak hanya berfikir tentang segala maksud penciptaan-Nya. Melainkan dengan cara apa kita mensyukuri segala nikmat yang diberikan.
Jika kita merujuk pada usia, teman-teman yang berusia sama atau berpaut 3-4 tahun dengan saya, tentu dihadapkan dengan persoalan-persoalan sekarang---berkaitan dengan masa depan. Ada yang sibuk dengan perkuliahan, meraih gelar. Ada juga yang sibuk bekerja, sedang yang lain sibuk dengan keluarga baru (mengurusi anak, istri). Kendati demikian, apakah kita tidak bisa meluangkan waktu (minimal lima menit) untuk bisa melakukan perenungan.
Sebagai manusia yang telah diberi pinjam waktu oleh Si Pemilik waktu, rasanya lancang jika kita tidak bisa menyisihkan waktu untuk-Nya. Caranya tidak harus menyendiri di kamar, melakukan pendalaman-pendalaman yang berbau sufistik. Meskipun akan lebih baik jika dikerjakan.
Seorang teman pernah berkata, "Khan, kalau saya ngopi dan ngerokok rasanya kok enak sekali. Nikmat Tuhan tu benar-benar terasa." Mendengar ucapan itu, sontak saya berpikir; Ternyata, untuk mensyukuri segala nikmat-Nya bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Ketika kau merasa bersyukur dengan segala kenikmatan yang disajikan, menurut saya itu lebih baik, daripada kita melakukan solat, ngaji hanya karena ingin dipuji oleh orang. Beribadah namun tidak merasakan nikmatnya beribadah.
Teman-teman sekalian, kata ulama (yang saya yakini sebagai seorang Wali besar) asal Martapura, Kalimantan Selatan, TGH Zaini bin Abdul Ghani atau lebih akrab disapa Abah Guru Sekumpul, tidak ada yang lebih nikmat kecuali makrifat. Pandangan mu hanya tertuju Allah SWT. Tidak ada selain Allah SWT. Hanya Allah, Tuhan bagi seluruh alam. Katanya, cara singkat dan cepat menuju itu hanya Solawat. Solawat, solawat dan solawat.
Habib Novel bin Al Idrus juga pernah mengatakan, amalan yang cepat sampai kepada Tuhan adalah solawat. Membaca solawat dengan berbagai keadaan pasti akan sampai kepada-Nya; Entah duduk, tidur, berkendara, ngopi dan lainnya---yang jelas tidak dibaca saat berada di kamar mandi, judi, dan perbuatan dosa sebagainya.
Teman-teman, solawat memiliki banyak manfaat dan khasiat. Persentase selamat dan maslahatan di dunia akan lebih tinggi apabila solawat terus diamalkan, terlebih lagi untuk tabungan akhirat nanti.
Dalam suatu kisah, dulu ada seorang yang amal kebaikannya sangat sedikit. Hampir setiap hari melakukan maksiat. Saat berada di dalam fase penimbangan amal, berat keburukannya mengalahkan kebaikannya. Saat tenggelam dalam rasa takut, seseorang yang tidak dikenalinya datang membawa semacam (sejenis) kertas putih. Kertas itu sangat ringan---lebih ringan dari kapas. Kemudian kertas itu diletakkan di atas nerasa (timbangan kebaikan).
Sesaat, neraca itu berubah---Amal kebaikan menjadi lebih berat dari amal keburukannya. Kemudian orang itu bertanya, "Siapakah diri mu? Kertas apa yang kau bawa, sehingga timbangan amalan ku berubah?." Lalu dijawab, "Akulah Muhammad SAW, nabi mu. Kertas itu merupakan bentuk fisik dari solawat yang pernah kau baca. Meski hanya sekali dalam seumur hidup mu."