[caption id="" align="aligncenter" width="565" caption="Debat Kandidat Gubernur DKI (tribunnews.com)"][/caption] Ketika mendengar rencana dua stasiun televisi akan menayangkan debat Kandidat 2 calon gubernur DKI, yang terbayang di otak adalah acara debat ala kandidat presiden Amerika Serikat yang cerdas dan mengajak berpikir. Saling berbagi visi, misi, harapan, target, dan rencana konkrit. Makanya ketika saya tidak sempat menonton siaran langsung acara debat tersebut, hari ini saya sampai meluangkan waktu untuk mencari rekaman videonya di youtube dan kedua situs TV tersebut. Tapi yang saya saksikan ternyata sebuah acara yang jauh dari harapan, bahkan kalau boleh dibilang memalukan. Dua acara tersebut, lebih tepat disebut sebagai debat kusir. Komentar, pertanyaan, dan opini yang dilontarkan kedua kubu tidak mencerminkan intelektualitas. Sindiran dan interupsi mendominasi perdebatan. Payah. Yang paling menyebalkan adalah melihat tingkah Nachrowi Ramli (Nara). Saya tahu dia bangga dengan statusnya sebagai orang Betawi, sayang hal itu ditunjukkan dengan cara yang salah: menjadikan mimbar debat sebagai panggung lenong. Dari nada bicara, isi komentar, dan gesture/sikap tubuhnya jelas menunjukkan kalau dirinya memang diposisikan sebagai pelengkap Fauzi Bowo (Foke) untuk memenuhi syarat pencalonan gubernur. Soal kapasitas, maaf saja, tidak terlihat sama sekali. Entah karena memang tidak bisa serius atau memang tidak punya kapasitas. Nara adalah contoh hidup dari peribahasa 'Tong kosong nyaring bunyinya.' Calon wakil gubernur Basuki CP (Ahok) juga tidak jauh berbeda dengan Nara. 2 kali berdebat, 2 kali pula dirinya terlihat emosional. Nakal. Ketimbang memaparkan program dan rencana-rencananya, Ahok lebih sering terlihat sibuk menyerang dan menghakimi kinerja Foke selama ini. Saya tahu konsep Ahok untuk Jakarta adalah membenahi birokrasi, tapi yang saya lihat Ahok justru melupakan program/rencananya dan malah menikmati waktu yang disediakan untuk meminta laporan pertanggungjawaban dari Foke. Dengan kata lain, sibuk menjatuhkan lawan namun gagal membangun kawan (Jokowi). Dari keempat kandidat, Jokowi lah yang paling mengecewakan saya. Banyak orang yang berharap banyak kepada dirinya setelah melihat keberhasilannya memimpin kota Solo. Tapi maaf, semua ucapannya selama acara debat sangat menggampangkan seluruh persoalan di Jakarta. Solo dan Jakarta jauh berbeda. Solo homogen, Jakarta sangat heterogen. Solo bukan sebuah ibukota, Jakarta adalah ibukota dan pusat pemerintahan negara Republik Indonesia. Sepanjang acara perdebatan, Jokowi terlihat seperti seorang sarjana S1 yang bergumam "Apa susahnya sih bikin tesis? Saya udah pernah bikin skripsi, hasilnya bagus. Tesis kan gak beda kan sama skripsi." Visi-misi Jokowi sangat sederhana: membenahi Jakarta lewat pembenahan birokrasi. Dari sana (diharapkan) Jakarta akan bisa menyembuhkan dirinya sendiri; lebih rapih, lebih tertib. Namun bagaimana jika proses pembenahan birokrasi ini gagal membawa perubahan yang signifikan? Dengan kinerja PNS yang dibanggakan Jokowi, ternyata Solo masih memiliki gangguan keamanan dari geng motor hingga teroris. Atau lebih parah lagi: bagaimana jika proses pembenahan birokrasi Jakarta nanti tidak berjalan sesuai dengan harapannya? Apakah Jokowi bisa bekerja di bawah tekanan? Satu-satunya kandidat yang saya anggap melakukan debat dengan baik hanya Foke. Bukan berarti program dan rencananya sangat bagus dan sempurna; tapi sepanjang pelaksanaan acara debat, Foke menunjukkan sikap menghormati lawannya dan fokus pada menyampaikan program dan pencapaiannya selama ini. Ketika menyerang Jokowi-Ahok pun digunakan dengan sindiran yang elegan, tanpa disertai nada suara yang emosional. Mungkin karena Foke sudah lebih berpengalaman dengan debat seperti ini, tidak heran sebab beliau adalah satu-satunya kandidat yang pernah menjabat posisi gubernur. Dia tidak berbicara untuk menyenangkan para pendukung yang berisik meneriakkan yel-yel hingga memenuhi studio, Foke bicara kepada kamera, kepada seluruh penonton acara, kepada para pemilik suara. Hasil debat kandidat ini tidak menjamin akan mencerminkan hasil pemilu pada tanggal 20 September nanti. Tapi gara-gara debat ini saya jadi ragu dengan Jokowi. Dengan semua konsep segarnya soal perubahan, apakah dirinya memang bisa diandalkan? Saya takut, jika nanti Jokowi-Ahok terpilih, keduanya tidak mampu mengatasi tekanan yang sedemikian besar. Yang saya bicarakan bukan sekedar soal pemimpin yang mampu menahkodai DKI Jakarta, tapi ini tentang harapan. Bayangkan jika Jokowi-Ahok yang sangat diandalkan oleh banyak orang ternyata tidak mampu memenuhi harapan. Masyarakat DKI (bahkan Indonesia) bisa kehilangan harapannya memiliki pemimpin yang mampu mengatasi krisis di negara ini. Efek jangka panjangnya masyarakat Indonesia bisa menjadi apatis, golput pada Pemilu presiden 2014, tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di negara ini, dan Indonesia pun otomatis bukan jadi milik masyarakatnya lagi. Melihat debat kandidat gubernur DKI, saya takut dan tidak mau berharap banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H