Hampir setiap hari saya bertemu dengan siswa-siswa saya yang masih duduk di sekolah dasar. Setiap sore mereka belajar bersama di rumah saya dengan jadwal yang berbeda-beda. Kegiatan belajar bersama itu sudah berjalan dua bulan lamanya, sejak awal tahun ajaran baru 2020-2021. Pada akhirnya saya pun mulai mengenal siswa-siswa saya.
Seperti misal, Nov yang pendiam, Tam yang banyak bertanya, Ar yang ingin selalu jadi yang pertama, Kee yang selalu mengganggu teman-temannya, Mel yang sering memusuhi teman-temannya, Fel yang mudah iri, Ter yang selalu dimusuhi Mel, Ir yang tidak diterima oleh teman-temannya, dan sikap anak-anak lainnya yang tidak bisa diceritakan semuanya.
Tingkah laku mereka yang berbeda-beda itu pada akhirnya memunculkan pertanyaan tersendiri pada diri saya. Seperti, mengapa ada siswa yang mudah diterima oleh teman-temannya, tapi ada juga yang ditolak?
Mengapa ada siswa yang suka memusuhi teman-temannya, dan hanya berteman dengan yang ia sukai? Mengapa ada siswa yang tidak suka belajar apapun bahkan termasuk mewarnai yang biasanya paling digemari teman-teman yang lain?
Mengapa ada anak yang mudah sekali menangkap pelajaran, namun di sisi lain ada yang sulit menangkap? Mengapa ada anak yang ingin terlihat dominan dan dilain sisi ada anak yang tidak ingin menonjol? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Sosioemosi yang Harus Dikembangkan Anak Sekolah Dasar
Membaca buku Life-Span Development (Perkembangan Masa-Hidup) karya John W. Santrock saya menemukan point penting yang sedang dialami dan harus dikembangkan oleh anak-anak yang duduk di sekolah dasar dalam hal sosioemosinya. Yaitu tentang bagaimana mereka memahami dirinya sendiri.
Anak sekolah dasar tidak lagi berfikir mengenai apa yang mereka lakukan, tetapi apa yang dapat ia lakukan dibanding teman-temannya. Mereka mulai berusaha untuk lebih baik atau minimal sama dengan teman-temannya.
Keinginan untuk menjadi lebih baik ini dapat memunculkan penghargaan diri (self-esteem). Anak yang berusaha lebih baik dari teman-temannya akan memiliki penghargaan diri yang tinggi terhadap capaiannya. Namun, jika penghargaan diri yang tinggi tidak diimbangi dengan kemampuan memahami orang lain, akan memunculkan sikap sombong, besar kepala, dan superioritas. Selain itu, mereka juga akan menyepelekan temannya yang lain dan haus akan pujian dan reward.
Sedangkan anak yang memiliki penghargaan diri yang rendah akan merasa tidak aman dan inferioritas (rendah diri). Penghargaan diri yang rendah muncul jika anak merasa bahwa dirinya tidak bisa atau tidak mampu terutama dalam bidang akademis seperti belum lancar membaca, belum bisa menulis dengan benar, salah dalam berhitung, dan lain-lain. Namun tidak semua anak yang kurang dalam akademis, memiliki penghargaan diri yang rendah.
Ada pula anak yang kurang dalam akademis, memiliki penghargaan diri yang tinggi. Anak yang demikian, perlu dilatih dalam hal berkompetisi dan menerima kritik, karena jika dibiarkan saja, mereka akan kesulitan menghadapi kompetisi dan kritik di kemudian hari.