Ibuku sering memberi nasehat kepadaku bahwa menikah itu tidak seindah yang dibayangkan. Mungkin indahnya sekitar lima tahun, setelah itu kita telah tahu sifat asli pasangan, muncul kebosanan pada pasangan, tidak bisa bebas. Apalagi jika perempuan tidak memiliki karir atau pegangan uang sendiri, hanya nunggu diberi suami, ingin sesuatu serba dibatasi, terlebih jika pasangan karirnya tidak berjalan lancar, masih mikir anak-anak pula.
Maka ibu saya sering menasehati saya untuk tidak bergantung terhadap suami, jika saya menikah kelak. Saya harus punya finansial sendiri, demikianlah prinsip yang diturunkan ibu saya kepada saya. Dan itu memang terbukti, ibu saya telah mandiri secara finansial, sejak menikah dengan ayah saya, ibu saya tidak pernah minta uang ayah saya. Bagi ibu saya, yang penting ayah saya bertanggung jawab terhadap anak-anak, menyekolahkan, itu sudah lebih dari cukup.
Meski ibu saya hanya lulusan sekolah dasar, tapi bagi saya ibu lebih paham tentang feminisme. Perempuan jangan lemah, jangan mau diinjak oleh laki-laki, jangan suka menodong uang kepada laki-laki, perempuan harus maju, harus serba bisa. Demikianlah ibu mengajarkan saya, bukan hanya tentang urusan dapur, apalagi kasur, tapi juga tentang pola berfikir.
Hidup berumah tangga memang tidak selamanya mulus. Di desa saya, rumah tangga yang benar-benar harmonis menurut saya tidak ada. Semua sama. Rumah tangga yang telah dijalani selama bertahun-tahun pasti ada isu tak sedap, ada saja bahan perbincangan di masyarakat tentang kondisi keluarga tetangga.
Sampai saat ini tentu banyak konflik-konflik yang bisa saya ceritakan tentang kehidupan rumah tangga masyarakat di desa saya, tapi kali ini saya hanya ingin membahas satu contoh saja.
Saya memiliki tetangga yang masih kerabat dekat dengan saya. Sebut saja namanya Ani (istri) dan Budi (suami). Pasangan Ani dan Budi bekerja sebagai buruh serabutan. Kalau ada panggilan kerja dari tetangga ya mereka bekerja, jika tidak, maka pengangguran. Pekerjaan serabutan yang dilakukan kadang menjadi buruh pasar, kadang menjadi buruh tani, kadang membantu tetangga desa yang sedang ada acara.
Budhe saya bercerita pada ibu saya bahwa dia menitipkan uangnya sebanyak lima ratus ribu kepada Ibu Ani untuk diberikan kepada Bapak Budi. Uang tersebut diminta untuk digunakan memperbaiki sepeda motor almarhum suami budhe saya. Karena sebelum meninggal, almarhum memberikan motornya yang rusak kepada Bapak Budi, ia berpesan jika ia sudah tidak ada, maka jika budhe saya mau pergi ke suatu tempat tolong diantarkan menggunakan motor itu, karena budhe saya tidak punya anak. Dan Bapak Budi menyanggupi.
Tapi ternyata uang lima ratus ribu itu ke Ibu Ani tidak dikasihkan ke Bapak Budi, malah digunakan keperluan sehari-hari. Bapak Budi pun tak tahu apa-apa soal uang itu saat budhe saya tanya. Ibu Ani dan Bapak Budi memang terlihat kaku, dan sepertinya diantara mereka berdua pun jarang ngobrol. Bahkan Bapak Budi sering menjelek-jelekkan istrinya kepada para tetangga. Karena tidak mau menambah konflik, budhe saya pun mengikhlaskan uang lima ratus ribu itu.
Contoh-contoh konflik pernikahan di masyarakat pernah saya bahas di tulisan saya yang berjudul Perselingkuhan, Poligami, Perceraian: Siapa yang Salah?
***
Hari ini, Rabu 11 Desember 2019 saya mengikuti kajian yang diadakan oleh Pondok Preneur Indonesia Present dengan tema Talkshow "Muslim Entrepreneur's Day": Mewujudkan Wonderful Family Tanpa Masalah Ekonomi, dengan pembicara Ustadz Cahyadi Takariawan dan Kyai Coach Fitra Jaya Saleh di Masjid Ibadurrahman. Goro Assalam, Kartasura.