Bagaikan dua insan yang sedang pacaran, beginilah aku mendeskripsikan hubunganku dengan kompasiana. Terukir jelas di profilku aku mengenalnya pada 8 Desember 2013. Itu artinya aku mengenalnya saat aku baru awal memasuki bangku kuliah. Tepatnya 3 bulan lebih 8 hari aku menjadi mahasiswa baru. Dan entahlah aku lupa bagaimana aku mengenalnya.
Saat itu aku dan kompasiana hanya kenal, aku tidak pernah menulis apa-apa, bahkan sebenarnya aku melupakannya. Lupa bahwa aku mengenalnya. Kejam sekali aku. Ibarat teman, dia orang yang aku cuekin, aku tinggalkan, tak peduli.
Di awal-awal 2019, menjelang pemilihan presiden 2019, Negriku diambang kerusuhan. Tak ada damai. Kedua kubu, cebong dan kampret saling menyebarkan berita hoaxs, saling menjatuhkan lawan, bahkan debat calon presiden dan wakil presiden terasa panas, meski pada akhirnya, andai itu adalah sinetron, kisah tersebut tamat dengan happy ending, Prabowo Subianto selaku calon presiden yang kalah, kini menjadi menteri pertahanan membantu petahana Joko Widodo, presiden 2014-2024.
Periode itu, adalah bulan-bulan menyakitkan bagiku selaku rakyat. Melihat calon-calon pemimpin yang bersitegang, melihat media yang panas, netizen berperang di media sosial, para ustadz tidak mendamaikan tetapi berpihak ke kubu salah satu, andai situasi itu bisa digambarkan, mungkin bagiku gambar itu sangat buruk, tidak menarik, dan berwarna hitam. Begitulah aku menggambarkan bulan-bulan menjelang pilpres itu.
Saat itu, ingin rasanya aku ingin berteriak, tetapi tidak bisa. Aku hanya diam. Di grup-grup whatsapp, status-status whatsapp, instagram, facebook, isinya konten-konten yang menyakitkan. Andai aku sakit, mungkin, sebagai rakyat, saat itu kondisiku kritis. Meski dari luar terlihat baik-baik saja, tapi jiwaku terluka, teriris, tak tahu aku harus berada di kubu mana, tak tahu siapa yang harus kupilih sebagai pemimpin, tak tahu mana yang hak dan mana yang batil. Itulah gambaran jiwaku saat itu. Aku ingin bercerita, tetapi tak ada kawan untuk berbagi.
Sampai akhirnya 24 April 2019, aku menggambarkan cita-citaku melalui sebuah puisi yang ku beri judul Renungan Indonesia Damai. Tapi malangnya, puisi itu tidak bisa aku apa-apakan. Hanya bisa aku baca sendiri. Sambil mungkin sedikit menangis. Harus ku apakan puisi ini. Keinginan-keinginanku yang tak bisa kusalurkan. Aku bagai rakyat yang hanya bisa merintih tak berkutik, dan pesakitan. Ku baca berita, sampai akhirnya kutemukan laman kompasiana. Seperti ada harapan untuk mengobati jiwaku yang tengah pesakitan itu.
Wow, amazing, ternyata aku sudah menjadi kompasianer sejak 8 Desember 2013, 6 tahun yang lalu. Aku seperti sembuh dalam luka. Menemukan obat untuk jiwaku yang nelangsa. Saat itulah aku mulai menayangkan artikel pertamaku. Hingga hari-hari berlalu, aku belum aktif menulis. Belum begitu mengenalnya. Hingga suatu saat tibalah saat jiwaku nelangsa lagi. Aku membuat puisi lagi berjudul, Tidak Puas. Lalu puisi selanjutnya, Bebas. Lagi, jiwaku yang nelangsa dan seperti orang pesakitan ini, sembuh.
Hingga tibalah hari dimana aku menganggap itu adalah hari jadianku dengan kompasiana, 7 Oktober 2019. Artikelku yang berjudul Film "Bebas" dan Relevansinya dengan Real Life, masuk pilihan. Label pilihan itu baru aku sadari dua hari kemudian. Ibarat pacaran, hari itu adalah hari kompasiana menyatakan cinta kepadaku, hari itu aku berada dalam keadaan bahagia tak terkira.
Semenjak hari itu, aku memutuskan untuk berkomitmen untuk rajin menulis di kompasiana, meski kenyataannya, ternyata konsisten itu tidak mudah. Tetapi setiap harinya aku berusaha menulis judul di word laptop, yang aku beri folder draft untuk kompasiana. Setidaknya meski belum konsisten tapi aku tidak akan mengkhianati dia. Seperti orang pacaran, entah apakah kita akan berada dalam pelaminan atau tidak, tapi setidaknya aku berusaha untuk berkomitmen dan konsisten selalu mencintai dia.
Seiring berjalannya waktu, aku membaca artikel kompasianer lain. Terutama yang masuk dalam pilihan, artikel utama, dan featured article. Hingga akhirnya aku merasa seakan-akan mengenal kompasianer lain yang sebenarnya belum ada satupun kompasianer yang pernah ku temui. Menarik, aku belajar dari banyak penulis, banyak kisah, banyak pengetahuan, dan banyak berita.
Tentang rating, bahkan aku tahu cara memberi rating tulisan orang itu, belum lama ini. Mungkin baru 1 bulan yang lalu. Luar biasa, melalui kompasiana bahkan aku tidak perlu mencurahkan betapa bahagianya membaca artikel penulis yang menginspirasi itu, cukup aku meninggalkan rating, kalau perlu komentar. Maka penulis tersebut akan tahu bahwa artikelnya telah memberi manfaat orang lain. Dan setiap ada artikel yang menarik, langsung aku masukkan ke daftar favorite supaya di hari kemudian andai butuh rujukan, tidak lelah mencari.