Arsip dan sejarah adalah rekaman kegiatan dan peristiwa masa lampau umat manusia dalam bentuk berbagai media. Arsip sendiri secara harafiah adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat serta diterima oleh lembaga negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan maupuan perseorangan dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari. Sedangkan sejarah sebagai kisah merupakan sejarah dalam pengertian subyektif, karena peristiwa masa lalu telah menjadi pengetahuan bagi manusia. Sejarah sebagai peristiwa merupakan sejarah secara obyektif, hal itu disebabkan karena masa lampau merupakan kenyataan yang masih diluar pengetahuan manusia.
Menurut Kuntowijoyo, peristiwa sejarah mencakup segala hal yang dipikirkan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh manusia. Faktor manusia dalam perspektif sejarah sangat mendasar atau hakiki, karena berdasar kesadarannya manusia memiliki nilai historis, yaitu selalu berkembang dalam rangka merealisasikan dirinya. Karena peristiwa-peristiwa tersebut FR. Ankersmit menyatakan bahwa dengan mengetahui kelakuan obyektif dari manusia masa lampau, maka sejarah berfungsi sebagai guru pengetahuan kehidupan.
Sekilas Mataram Islam
Bagaimana dengan kerajaan Mataram Islam ? Kerajaan Mataram Islam tahun 1582 M telah memberikan sumbangsih yang cukup dominan terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia. Mengingat secara historis-kultural, inilah kerajaan satu-satunya di Indonesia yang mampu bertahan hidup hingga masa berakhirnya Belanda di tanah air. Meskipun didalamnya hubungan antara pemerintah pusat kerajaan dan berbagai daerah kekuasaannya menjadi salah satu persoalan keberlangsungan hidup suatu kerajaan.
Sebagai contoh pada masa pemerintahan Sultan Agung. Pada periode berikutnya para pengganti Sultan Agung seperti Amangkurat I, Amangkurat II, Amangkurat III, Amangkurat IV, Pakubuwono I dan Pakubuwono II menunjukkan ketidakstabilan pemerintahan di pusat kerajaan Mataram Islam. Hal ini menjadi penyebab munculnya pergolakan di berbagai daerah sehingga pada puncaknya kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Latar Belakang Perjanjian Giyanti
Pada skripsi Mastingah yang berjudul " Sekitar Perjanjian Giyanti 1755 (Pecahnya Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta)" menuliskan bahwa peristiwa menjelang perjanjian Giyanti 1755 M merupakan suatu fenomena tersendiri dalam perjalanan sejarah kerajaan Mataram Islam. Walaupun pada dasarnya peristiwa-peristiwa itu sudah dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I, namun kejadian besar yang hampir memporak-porandakan wilayah dan pembunuhan besar-besaran terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwono II, yaitu tahun 1740 M.
Sikap diskriminatif orang - orang Belanda sangat terlihat ketika peristiwa Geger Pecinan terjadi, yaitu antara tahun 1740-1746 M. Hal tersebut menimbulkan pemberontakan orang-orang Cina secara besar-besaran. Situasi politik saat itu semakin memanas, pergolakan politik semakin meningkat seiring dengan munculnya para pemberontak yang dipimpin oleh Mas Garendi dengan tujuan menghancurkan kerajaan Kartasura.
Dalam situasi seperti itu, kerajaan Mataram Islam ternyata kurang memiliki kekuatan militer yang kuat dan tangguh, namun lebih memilih bersandar pada aliansinya. Kondisi yang seharusnya dimiliki oleh kerajaan sebesar Mataram Islam adalah kekuatan militer dan solidaritas yang kuat seperti pada saat awal berdirinya, namun kenyataanya hal tersebut tidak ada pada saat itu.
Pun ketika kerajaan dipindahkan ke Surakarta, kondisinya tidak semakin baik, melainkan pemberontakan demi pemberontakan semakin menjadi-jadi. Termasuk pemberontakan yang dilancarkan oleh Pangeran Mangkubumi dan RM Said yang dikenal dengan perang Suksesi Jawa III sampai menimbulkan kemiskinan penduduk. Akibatnya penduduk yang ada tinggal hanya 25 %. Pemberontakan yang dilakukan keduanya mengakibatkan kerajaan Surakarta kehilangan dari wilayah yang dikuasainya.