Tari bedhaya adalah salah satu tarian kraton yang mengalami kejayaan pada abad ke- 18, yaitu pada masa pemerintahan Paku Buwono (PB) II, PB III, PB IV dan PB VIII. Mengapa ? Karena pada masa tersebut banyak "dilahirkan " tarian bedhaya. Sebenarnya ada banyak sekali jenis tarian bedhaya, namun hanya ada beberapa saja yang masih ada. Antara lain tari bedhaya Durodasih, bedhaya Tejanata, bedhaya Sukoharjo, bedhaya Kirana Ratih, bedhaya Kabor, bedhaya Endhol - Endhol, bedhaya Sinom, bedhaya Gambir Sawit, bedhaya Ketawang dan bedhaya Pangkur. Hal tersebut dikarena pada waktu itu ada larangan dari pihak kasunanan Surakarta bahwa tarian yang "lahir" dari dalam kraton tidak boleh keluar dan dipelajari secara umum. Selain itu juga larangan bahwa yang boleh memperlajari tarian bedhaya adalah wanita yang belum menikah. Hal tersebut mengakibatkan banyak tarian bedhaya yang tidak "terdeteksi" baik dari segi vokabuler gerak maupun cakepan gendhingya. [caption id="attachment_257655" align="aligncenter" width="530" caption="Gerakan awal bedhaya Pangkur (fy by Heru)"][/caption] [caption id="attachment_257656" align="aligncenter" width="516" caption="Gerakan yang lembut mengalir dari para penari bedhaya Pangkur (fy by Heru)"]
[/caption] Bedhaya Pangkur adalah yasan ndalem (karya raja) PB IV yang sudah berumur lebih dari 200 tahun. Di dalam lingkungan kraton, keberadaan tarian- tariannya dikelola oleh beberapa abdi dalem yang dibagi dalam kelompok-kelompok dengan penanggung jawab pengageng parentah keputren. Diantara kelompok - kelompok tersebut adalah kelompok abdi dalem bedhaya yang mempunyai tugas pokok sebagai penari bedhaya. Disamping sebagai penari, para abdi dalem tersebut juga mempunyai tugas lainnya, yaitu sebagai penjaga keamanan di lingkungan keputren. Maka dari itu para abdi dalem tersebut juga dibekali ilmu bela diri. [caption id="attachment_257659" align="aligncenter" width="516" caption="Mundur beksan tanda berakhirnya tarian bedhaya Pangkur (ft by Heru)"]
[/caption] Seperti tarian bedhaya lainnya, gerakan tari bedhaya Pangkur juga mempunyai gerakan lembut dan mengalir dengan iringan gendhing Pangkur. Jumlah penarinya sembilan orang dengan jabatan dan nama yang berbeda-beda. Yaitu : batak, gulu, dhaha, endhel weton, endhel ajeg, apit ngarep, apit meneng, apit mburi dan buncit. Kesembilan jabatan penari bedhaya Pangkur tersebut adalah manifestasi pengendali hawa nafsu manusia (babahan hawa sanga). Mengenai ricikan (instrumen) iringannya simpel, tidak seperti ricikan-ricikan tarian lainnya. Karena hanya terdiri dari kemanak, kethuk, kenong, kendhang dan gong. Ditambah vokal sindhenan. Tari bedhaya Pangkur adalah tarian sakral yang menceritakan tentang keseimbangan hawa nafsu dan akal sehat manusia. Namun menurut Gusti Puger (salah satu putra sawargi PB XII) tari bedhaya Pangkur juga bisa dipentaskan sebagai hiburan untuk mengungkapkan rasa syukur atas kelahiran bayi atau untuk penyambutan tamu. Kesembilan penarinya menggunakan rias busana yang sama dengan memakai bunga yang diletakkan didalam samparan (kain panjang seperti ekor). Sehingga ketika para penari mulai bergerak/menari, bunga-bunga tadi keluar memenuhi area dan membuat tarian bedhaya semakin agung. Namun sekitar tahun 1970-an, yaitu pada masa PB XII oleh sinuwun tarian bedhaya boleh keluar dari dalam tembok kraton. Artinya mulai tahun tersebut tarian bedhaya boleh dipelajari oleh masyarakat umum. Dan ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) sekarang ISI dan PKJT (Pusat Kesenian Jawa Tengah) sekarang TBJT yang pertama kali "memanfaatkan" kesempatan emas itu. Sebagai salah satu lembaga pendidikan dan lembaga budaya yang kala itu berlokasi di Sasana Mulyo dan Siti Hinggil (bagian bangunan dari Kasunanan Surakarta), sedikit demi sedikit menggali dan mempelajari tarian- tarian bedhaya. Sehingga sampai saat ini tarian - tarian adi luhung itu masih bisa dinikmati. Salam budaya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H