Sabtu, 20 Juni 2020 pembagian rapor sekolah telah dilaksanakan. Ada yang secara langsung diserahkan kepada siswa atau orang tua, ada juga yang melalui virtual dan ada juga yang dikirimkan melalui email atau gawai yang memungkinkan. Siswa dan orang tua telah menerima laporan hasil belajar untuk semester genap, sekaligus pernyataan naik atau tidaknya siswa yang bersangkutan.
Sontak ramai pula sosial media postingan hasil pencapaian proses belajar selama semester ini. Tidak hanya siswa, orang tua pun turut meramaikan arus posting prestasi anak-anaknya. Begitulah masyarakat kita sangat antusias dengan pembagian rapor.
Terlebih situasi pandemi yang mengharuskan anak-anak belajar dari rumah. Dan banyak juga orang tua yang turut membantu anak-anaknya belajar dari rumah. Sehingga mereka pun sangat penasaran dengan hasil belajar yang diberikan guru. Tampaknya mereka penasaran guru memberi nilai berapa atas usaha mereka membantu anak-anak mereka belajar dari rumah.
Dari sekian banyak postingan yang saya perhatikan, ada salah satu postingan yang cukup menarik buat saya. Postingan dari salah seorang guru, mengajar di SMP dan juga merupakan orang tua. Saya tidak tahu apakah postingannya mengenai guru anaknya, atau mengenai rekannya guru di sekolah atau bagi guru lain di sekolah lain. Yang pasti postingannya ditujukan kepada guru. Postingannya kira-kira seperti ini, "Ya ampun, dalam situasi pandemi seperti ini masih tega ngasi nilai anak di bawah KKM? Apa gak punya hati? Coba anak anda yang diberi nilai dibawah KKM, apa bisa terima?" Kira-kira begitu. Saya kira-kira saja, saya tak mengingat kalimat persisnya.
KKM itu singkatan dari Kriteria Ketuntasan Minimum, artinya nilai terendah yang harus dicapai anak untuk dapat dikatakan telah menuntaskan pelajaran. KKM ini disusun oleh guru dengan proses perhitungan yang lumayan panjang, bukan sebagai angka yang dibuat-buat dan asal jadi.
Kembali ke isi postingan tadi. Cukup menggelitik buat saya. Karena saya banyak kali menemukan praktek seperti itu dalam penilaian. Menggunakan prinsip "KASIHAN". Bolehkah? Kalau pertanyaannya boleh atau tidak, maka silahkan menyimak penjelasananya.
Prinsip Penilaian
Prinsip penilaian pendidikan di Indonesia di atur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 20 tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan dan diesmpurnakan kembali lewat Permendikbud nomor 66 tahun 2013 tentang standar penilaian pendidikan.
Menurut Permen ini, bahwa penilaian hasil belajar peserta didik harus dilaksanakan dengan prinsip: Objektif, Terpadu, Ekonomis, Transparan, Akuntabel dan Edukatif. Boleh dibaca sekali lagi jika kurang jelas. Sudah? Kalau sudah, maka pertanyaan saya, adakah KASIHAN di dalamnya? Tidak. Jadi tidak ada prinsip kasihan, jangan ditambah-tambahin.
Mengapa bisa terjadi kasihan? Banyak faktor. Salah satunya adalah budaya ketimuran kita yang sangat sosialis. Apa kaitannya? Kita sangat suka tolong menolong. Tetangga atau oran-orang dekat kita kesusahan pastilah kita bantu. Orang yang tidak kita kenal saja pun terkadang kita bantu.
Prinsip ini yang dibawakan dalam penilaian. Kasihan, anak sudah capek berusaha. Kasihan, anak mengalami situasi yang sulit. Kasihan, kasihan dan banyak kasihan lainnya. Bukan tidak boleh kasihan kepada orang lain, namun melakukan penilaian dengan berlandaskan pada rasa kasihan jelas-jelas melanggar permendikbud.