Suatu percakapan di grup WhatsApp alumni sebuah kampus yang multi gender, seorang pria merasa percaya diri melontarkan stiker-stiker dengan ada kata "janda", "koleksi istri", dan sejenisnya. Beberapa pria lain menanggapi dengan ketawa, lebih banyak yang diam saja.
Sudah kodratnya, kaum adam punya gagasan sex yang lebih liar dari perempuan. Jika berada di kawanannya, tidak bisa dilarang, mata dan mulut bisa beda bunyinya.
Namun, para perempuannya pun bisa tutup mata. Tidak perlu juga tahu yang penting kondisi rumah tangga aman. Lain halnya jika bahasan itu muncul di komunitas atau grup, terutamanya daring, yang multi gender.
Respect, toleransi, dan peluang adalah hal yang wajib diberikan bagi siapa pun tanpa pandang gendernya.
Bergaul dalam komunitas majemuk, terutama yang sifatnya daring, para perempuan tidak pernah minta diistimewakan. Mereka sama-sama punya akal, rasa, dan hati yang kemudian bergabung dengan dasar/alasan yang sama dengan para lelaki yang ada di sana.
Ketika bergaul, posisikanlah para perempuan tadi terhormat tanpa harus membawa status perkawinan, pendidikan, atau profesi sebagai lelucon. Hendaklah semua bijak membawa bahan candaan yang netral dan memang patut ditertawakan bersama.
Kalau dulu orang bicara hati-hati bergaul jangan membawa unsur SARA, maka sudah selayaknya juga di grup multi gender itu jangan ada bahasan urusan dada dan paha.
Ibu Budi sedang mencuci baju. Ayah Budi membaca koran.
Mungkin dulu saya tidak cukup kritis dengan model doktrin patriarki semacam ini. Saya tidak sadar bahwa ada penempatan posisi Ayah Budi yang lebih tinggi dari Ibu Budi di rumah. Bagaimana mungkin, tinggal di rumah yang sama lalu hanya Ibu mencuci baju dan Ayah hanya diam saja tidak ambil peran di rumah.