Saya tak perduli tentang benda halal yang masuk ke tubuh kalau tidak pernah tinggal di Eropa.
Tapi jangan buruk sangka dulu sama saya, dong!
Alasannya masuk akal, kok!
Soalnya seumur hidup saya tinggal di negara yang mayoritas muslim. Tingkat kepedean saya tinggi kalau semua makanan dan minuman yang tersedia di meja makan di rumah atau restoran itu halal adanya. Intinya, ukuran halal saya cukup yang terhidang berkategori tidak mengandung babi. Memang terdengar sedikit aneh! Tapi itulah yang terjadi! Sampai di tahun 2013, saya mengikuti suami tinggal di sebuah kota kecil di negara Jerman, Aachen.
Ceritanya begini,
Saat itu musim panas, beberapa minggu berlalu sejak pertama kali saya menginjakan kaki di Aachen. Kantor tempat suami kerja mengadakan kumpul-kumpul mengundang karyawan dan keluarga. Sebagai pendatang baru, saya dan keluarga tentunya senang sekali bisa datang. Tiba di tempat, saya kenalan dengan beberapa rekan kerja suami dan anak-anak sudah asik bermain di lapangan. Cuaca hari itu cerah dan pas buat santai menikmati sajian dari katering lokal yang sudah dipesan. Lirik stand makanan, tersaji menu barbeque (ayam dan daging), pasta, salad dan kue-kue.
Terus terang, melihat ayam dan daging panggangnya membuat saya menegak air liur. Sungguh beruntung punya perusahaan yang royal memberi makan karyawannya dengan sajian daging bak steak di restoran kenamaan. Meski tak seberapa lapar, tentu saja daging pun menjadi incaran saya. Suami menyadari ada yang salah dengan istrinya ini.
Dia menegur, "Ibu engga tahu ini apa?"
Yang ditanya malah bengong masih tidak mengerti.
"Kalau di sini hati-hati makan daging. Kan, belum tentu ini sapi." katanya lagi.