Jaket parasut berwarna magenta ini pemberian Fita belasan tahun lalu. Jaket kesayanganku. Menemaniku nyaris di beberapa kesempatan. Mulai dari naik motor, hiking, joging, berkebun, sampai bepergian ke luar kota. Modelnya simple dan bahannya fleksible. Pendek kata jaket bak sahabat setia bahkan soulmate. Namanya pemberian sahabat karib sejak SMP, dari brand ternama yang harganya pun bisa bikin jiwa miskinku meronta-ronta. Tentu jadi benda berharga selayaknya benda berhala kaum dinamisme. Hingga tujuh tahun lalu resletingnya lepas dan tak bisa dipakai lagi. Dasar otak udang. Bukannya mencari penjahit untuk mengganti resleting yang rusak, jaket itu kusimpan di dalam koper dikolong ranjang. Hingga dua hari lalu aku membeli jaket dengan bahan sedikit mirip berwarna pink dengan harga yang jauh lebih murah di mall, barulah aku teringat akan jaket parasut itu. Mengapa tidak kuganti saja resleting yang rusak itu hingga aku bisa memakainya bergantian untuk joging dengan jaket parasut yang baru ini?
Walhasil, di sinilah aku kini, berdiri di trotoar jalan menunggui jaket favorit sedang dipasang resleting baru oleh penjahit kaki lima. Seorang wanita paruh baya sedang melepas resleting lama. Sembari tangannya berkerja mulutnya berkicau. Ngobrol remeh receh hingga sampai pada curhatan. Anaknya tiga. Sulung anak lelaki sedangkan yang dua lagi anak perempuan. Anak bungsunya sering terlambat ke sekolah karena sering ketiduran akibat begadang. Anak sulungnya rajin mengerjakan urusan rumah dan suka membantu si ibu,mengendong ke kursi roda (kemudian aku tahu si ibu lumpuh akibat kecelakaan) bergantian dengan sang suami. Ibu ini menjahit diatas kursi roda yang di modif dengan motor. Kreatif. Cerita punya cerita. Bertanyalah dia. Anakku ada berapa? Kujawab saya tidak punya anak. Kemudian dia bertanya umurku berapa? Kujawab 51 tahun. Ibu itu terpekik dan melotot kaget. Tak lama iamenghibur.
"Jadi ibu ini cuma berdua dengan suami? Nggak punya anak? Nggak papa, bu. Nggak semua orang diberi rejeki anak."
Aku tersenyum.
"Saya juga nggak punya suami, bu!"
Ibu itu kembali terpekik. Asli. Aku bingung harus bersikap seperti apa. Karena menghadapi pertanyaan seperti ini sudah biasa. Mungkin ratusan orang sudah mempertanyakan. Berasumsi negatif dan positif. Tapi jika yang bertanya orang disabilitas, aku takut sekali menyinggung atau melukai. Maksudku jawabanku. Aku takut jawaban amanku malah jadi bumerang.
"Sumpah. Saya kira mbak ini lebih muda dari saya tahunya malah jauh lebih tua. Mbak ini cantik, kayaknya orang kaya juga. Kendaraannya saja bagus. Bajunya bagus. Tasnya kayaknya mahal. Tapi sayang nggak punya jodoh. Rugi, mbak! Anyep!"
"Saya memang bukan perempuan yang wajib menikah, mbak. Jodoh itu takdir Allah. Yang penting saya menjalani hidup dengan baik." jawabku, sembari berdoa dalam hati nggak menyakiti si ibu dengan argumentasiku.
Si ibu penjahit meletakkan jaket disamping mesinjahit. Mendongak ke arahku.
"Kalau sakit kalau nggak punya anak, siapa yang akan merawat kita, mbak? Apalagi orang cacat kayak saya. Makanya gitu saya sudah dewasa saya langsung cari suami. Siapa saja yang mau sama saya yang terima saya dan bisa punya anak sama saya. Yang penting kami bisa punya anak yang bisa mengurus kami sampai mati!"
Lho??????