Terkadang hawa nafsu membuat kita buta akan realita. Perasaan yang terlalu meluap membuat kita arogan bahkan egosentris.
"Tidak akan ada perceraian karena mahal dan membangkrutkan!" tolak Duran, sembari membanting pintu mobil.
Aristi terpana. Kakinya tak mampu bergerak bak patung ia menatap nanar mobil yang melesat meninggalkan halaman.
"Makanya jangan jadi pagar makan tanaman. Makan tuh karma!"
Beberapa minggu sebelumnya.
Aristi menunduk. Sekuat mungkin menahan emosi. Amarahnya sudah sampai ubun-ubun namun gamisnya menahan Aristi untuk brutal menumpahkan kesal. Ia harus jaga image.
Harus terlihat muslimah soleha yang ridho menghadapi masalah apapun, termasuk anak tiri brengsek yang sudah menendang Arigo, anak semata wayangnya.
Baru menikah sebulan tapi serasa seabad. Pernikahan bahagia yang Aristi bayangkan hanya indah di tiga hari usai ijab kabul. Ibay anak tirinya yang sejak pertama bertemu sudah menunjukkan sikap bermusuhan mulai melakuka teror mental pada Aristi dan Arigo. Nyaris dua puluh empat jam dalam sehari Aristi harus mengurut dada akan ulah Ibay.
"Anakmu sungguh-sungguh bangsat!" berang Aristi, sembari melempar Duran, suaminya dengan bantal.
Wajah Duran memerah. Gusar ia lempar balik bantal ke arah isterinya.
"Jangan pernah memaki anakku sekasar itu lagi!" Duran menunjuk wajah Aristi dengan geram.