Salon Surya tidak begitu ramai. Santi,pemilik salon dengan cermat membubuhkan obat pelurus rambut ke kepalaku. Sesekali sahabatku mengoceh soal perjalanan cintanya yang nggak pernah mulus.
"Kau nggak berniat menikah lagi, Rin?" tanya Santi mengejutkanku.
"Pernikahan nggak semudah dikatakan, San. Aku masih takut dengan ikatan, kau bahkan tahu aku selalu menghindar dari lelaki-lelaki yang mendekatiku," sahutku lirih
Sahabatku sejak sepuluh tahun itu terbahak. Sementara tangannya mengoleskan krim, dia terus saja meledek. Aku hanya diam sambil sesekali tersenyum kecut. Semua perkataannya benar. Aku mungkin memang pengecut. Sejak bercerai dua belas tahun lalu, aku hanya sekali menjalin hubungan dengan lelaki. Itu pun harus kandas karena dia nggak mau dianggap mendekatiku karena uang semata.
***
Aku terlahir sebagai perempuan Jawa dengan aturan adat yang kuat. Sejak kecil keluarga besar di puri menerapkan aturan yang ketat. Jangankan berpacaran. berkawan dengan lawan jenis saja dilarang. Pada usia lima belas tahun, aku sudah dijodohkan dengan dalih memelihara keturunan dengan menimbang bibit,bobot,bebetnya.
Tepat di usia duapuluh tahun aku menikah dengan Mas Bayu, putra pengusaha batik dari trah Mangkunegaran. Penikahan kami hanya bertahan tujuh tahun. Kebiasaan mantan suamiku yang suka bermain perempuan membuatku jengah. Perceraian kami ditentang oleh keluarga besarku. Ancaman dikeluarkan dari silsilah dan tidak mendapat hak waris, sama sekali tidak membuatku gentar sedikit pun.
Setelah bercerai, aku menepi di ujung timur kota Solo, bekerja sebagai petani sambil sesekali turun ke Solo menengok kedua putri kecilku. Sampai satu ketika, Santi mengajak aku bergabung dengan Event Organizer miliknya. Dari situ aku bertemu dengan banyak orang, salah satunya Rendy. Dia seorang penulis Dari Rendy aku belajar menulis. Melupakan semua rasa sakit yang timbul dari ketidakberdayaanku sebagai perempuan.
Akan tetapi, hubungan kami tidak bertahan lama. Rendy pergi setelah berhasil membuatku menjadi penulis amatir. Alasan kepergiannya begitu mengada-ada. Dia takut dianggap sebagai lelaki menumpang hidup pada perempuan.
Sejak saat itu hatiku tertutup untuk lelaki mana pun. Apalagi sebagai janda, banyak yang memandang sebelah mata. Hatiku makin tertutup saat seorang lelaki lain menawarkan diri sebagai pemuas nafsu sesaat dengan bayaran seikhlasnya. Aku merasa sangat dilecehkan, apakah status janda adalah pintu masuk bagi manusia pemangsa? Apakah jika perempuan berststus janda, dia sangat terlihat haus sex? Apalagi yang melecehkanku adalah seseorang yang seharusnya paham siapa diriku, karena kami bersahabat cukup lama, meskipun hanya di dunia maya.
***