Namaku Ganthari, terlahir sebagai perempuan desa dengan beribu aturan. Namun, bukan berarti aku harus menyerah, dan pasrah melihat anjing anjing kompeni menginjak harga diri kami sebagai pribumi.
Aku adalah Ganthari, berjalan gagah meninggalkan simbok dan kakangku untuk bergabung di pasukan estri, Pangeran Sambernyawa. Bukan tanpa tentangan.
"Nduk, jangan salahi kodratmu sebagai perempuan, dan mengangkat senjata!" pinta Simbok seraya mengusap air mata.
Aku hanya tersenyum, mengucapkan harapan paling indah, tentang hari merdeka pada masa depan. Simbok menangis, kakang mengumpati kebodohanku, katanya.
Tubuh mulus tidak pernah aku punyai sejak usia enam belas tahun. Sering aku lupa diri jika memiliiki payudara. Berjalan di bawah tebasan pedang dan riuh meriam menjadi santapanku setiap hari. Bekas sabetan pedang, lubang peluru dan sayatan bayonet itu adalah gigitan nyamuk, bagiku. Kadang aku berpikir senjata tajam dan bedil adalah sengat lebah yang tidak akan membunuhku.
Namaku Ganthari, tak pernah menangis karena cacat mengubahku menjadi permpuan yang tak cantik. Akan tetapi, darah di kebaya Simbok mematahkan hatiku.
"Mbok, Simbok! Aku belum bisa membawamu ke tanah merdeka. Mengapa kau pergi mendahuluiku?" tanyaku pada amis darah simbokku.
Sumpah seorang Ganthari sederajat dengan sumpah Drupadi. Aku bernapas dengan seribu dendam demi menebus nyawa Simbok yang diambil secara paksa. Mereka memperkosa kewenangan Sang Maha Kuasa. Aku tidak dapat menerima itu. Aku bukan orang suci, bukan pula seorang nabi. Aku adalah Ganthari.
"Aku Ganthari, bersumpah pada langit. Tiji tibeh! Mati siji mati kabeh. Mukti siji mukti kabeh!"
Solo-Sby 090719
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H