Lihat ke Halaman Asli

Sari Aryanto

fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Kabut di Perkebunan Teh

Diperbarui: 28 Juli 2017   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam merambat semakin tua, suasana pedesaan yang hening terasa mencekam malam ini. Yuli menutup laptopnya, pekerjaannya sebagai guru bantu di desa Kemuning memaksanya bekerja sampai malam. Beberapa anak dari pekerja perkebunan teh memang sering datang ke rumah dinasnya selepas magrib. Pada pagi sampai siang mereka kadang membantu orang tua yang bekerja sebagai pemetik teh.

Lingsir wengi sliramu tumeking sirna

Aja tangi nggonmu guling

awas ja ngetera

aku lagi bang wingo-wingo

jin setan kang tak utusi

jin setan kang tak utusi

dadya sebarang

Waja lelayu sebet

Sayup-sayup Yuli mendengar seseorang menembangkan durma, salah satu dari sebelas tembang macapat. Perempuan di akhir dua puluhan tahun itu menyandarkan punggungnya pada amben kayu jati di sudut kamar. Dia menyelonjorkan kakinya yang terasa pegal, matanya terpejam. Ingatannya mengenang ayahnya yang jauh di Jakarta, beliau suka sekali tembang-tembang macapat. Bahkan waktu Yuli masih kecil, ayah menidurkannya dengan tembang macapat yang sarat nasehat.

" Heh! Siapa yang nembang malam-malam begini?" tiba-tiba Yuli disadarkan oleh sesuatu yang ganjil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline