Lihat ke Halaman Asli

Sari Aryanto

fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Prahara dari Toyawening

Diperbarui: 22 Oktober 2016   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: piclens

Bau merang terbakar menyelusup di tengah kediamanku, suatu pertanda kalau putri kecilku menangis karena merindukanku, ibunya yang terpaksa meninggalkan dirinya karena tak mampu menyembunyikan kekecewaan yang begitu besar pada ayahnya sekaligus suamiku.

Aku beringsut dari tempatku bersimpuh menebus kesalahan yang tidak sengaja kuperbuat. Kubuka peti penyimpanan pakaianku, dan kudapati pakaian berwarna merah yang menyolok mata. Mengingatkan pada kelalaian yang harus kutebus dengan penderitaan.

Hari itu, dengan pakaian merah ini aku bersama keenam sahabatku bermain di kedung Toyawening di tengah hutan Wanawasa. Saking asyiknya kami bermain air kami lupa waktu hingga matahari condong ke barat. Suara kelelawar keluar dari sarangnyalah yang menyadarkan kami untuk segera pulang. Tapi naas pakaianku raib dari tempat kami menyimpannya.

Bagaimana aku bisa kembali pulang tanpa pakaian? Aku benar-benar tak berdaya saat keenam sahabatku terpaksa meninggalkanku sendiri di tengah kedung. Langit mulai gelap dan angin semakin dingin menusuk tulang. Dan dalam ketidak berdayaanku aku mengucap sumpah yang mengubah takdir hidupku. "Barang siapa yang memberiku pakaian, jika perempuan akan kujadikan saudara, jika laki-laki aku bersedia menjadi istrinya."

Dan Jaka Tarub lah yang memenangkan sumpahku. Aku menjadi istrinya dan melahirkan Nawang Sih sebagai tanda bakti untuk suamiku. Namun lagi-lagi kenaasan tak berpaling dariku, kesaktianku sebagai keturunan kahyangan sirna karena keingintahuan suamiku. Dia membuka tutup kukusan tempat menanak nasi saat aku pergi mencuci pakaian di kali.

Takdirku sebagai manusia seutuhnya dimulai, tangan yang tak pernah bekerja keras mulai saat itu harus bersentuhan dengan alu dan lesung. Persediaan gabah kami semakin menipis hingga tak ada yang akan kami makan buat esok hari. Di sudut lumbung, di belakang ikatan gabah kami yang terakhir, kutemukan pakaian merah lengkap dengan selendang tanda khas dari kahyangan milikku yang raib berbulan yang lalu.

Sedih, kecewa, senang dan marah bercampur aduk memenuhi hatiku. Ternyata suamiku, yang merupakan dewa bagi setiap kaum perempuan adalah pencuri sekaligus penipu. Dengan berat hati aku memutuskaneninggalkan dia serta putri kecilku, kembali untuk menebus dosa di tempat aku berasal.

"Nawang Wulan, sampai kapan putrimu harus menunggu? Cepatlah datang menemuinya dan puaskan kerinduannya padamu!" Nawang Sari sahabat terdekatku mengingatkanku pada kewajibanku sebagai ibu. "Anakku, sekecewa-kecewanya aku pada ayahmu, aku tak kan pernah meninggalkanmu!", bergegas kukenakan pakaian berwarna merah itu dan terbang turun ke mayapada.

#poeds 221016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline