Lihat ke Halaman Asli

Sari Aryanto

fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Cerita dari Rumpun Bambu

Diperbarui: 17 Oktober 2016   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam sembilan malam di rumahku sudah sepi, malam ini aku kedatangan tamu seorang anak kecil yang sangat manis. Bukan tamu sebenarnya, aku bertemu dengannya yang sedang sendirian bermain di bawah rimbunan rumpun bambu di jalan ke arah sungai. Aku sempat heran mengapa anak semanis ini tidak dicari orangtuanya, padahal hari sudah masuk candikala. Saat kutanya apakah dia sudah makan, dia menggelengkan kepalanya. Aduh... ! Orang tua macam apa ayah dan ibu anak ini.

Kubawa anak ini pulang dan kumandikan dia, laku ku suguhkan masakan istimewa yang selalu ku masak saat ada tamu di rumahku. Kupinjami anak manis ini mainan yang kubeli di pasar beberapa waktu yang lalu. Anak manis bernama Santo ini terlihat bahagia di rumahku, dia makan minum dengan puas serra bermain dengan bahagia. Setelah puas bermain Santo tertidur di lincak ruang tamuku, kuselimuti dia untuk mengusir hawa dingin yang menusuk tulang.

Aku merebahkan tubuhku di samping Santo, terbayang di benakku nasibku yang malang. Namaku Surti, aku terlahir sebagai perempuan desa yang bersahaja. Kehidupanku yang biasa-biasa saja berubah seratus delapanpuluh derajat setelah sepuluh tahun perkawinanku dengan mas Parjo tak kunjung dikaruniani seorang anak. Bukan aku tidak berusaha untuk bisa hamil, aku menuruti semua nasehat orang-orang tua,bahkan yang tidak masuk akalpun kuturuti. Tapi rupanya Tuhan belum memberiku kepercayaan untuk mempunyai seorang anak.

Dan mas Parjo mulai berubah, dia mulai menyindirku sebagai perempuan mandul yang tidak berguna. Mertua perempuanku juga mulai nyinyir dan bergosip dengan tetangga tentang diriku. Aku hanya bisa diam menerima semua tekanan itu, tapi mas Parjo malah menjadi-jadi. Dari kabar burung aku mendengar dia punya simpanan di desa tetangga, aku berusaha tidak mempercayai semua yang kudengar, toh tidak ada bukti untuk itu semua.

Cuma aku heran, tetangga mulai mengatakan kalau aku sinting. Anak-anak kecil juga menyingkir setiap aku lewat di dekat mereka, bahkan beberapa dari mereka melempari batu ke arahku dan berseru, "Surti edan... Surti edan.!!" Ah, biar sajalah aku hanya ingin merasakan memelihara seorang bayi, karenanya aku membeli boneka bayi di pasar dan kuperlakukan seolah ia anakku. Kumandikan, kusuapi bahkan kuajak berkeliling desa.

Aku tidak gila, aku seratus persen waras. Mas Parjolah yang gila, dia membawa Warni selingkuhannya ke rumah dan bersenggama di kamarku, di atas tempat tidur yang menjadi saksi keperawananku. Lalu apa salahku jika pisau yanh biasa kupakai memotong sayur kutancapkan di jantung suamiku itu? Ya! Tepat di jantung laki-laki yang sedang berada di puncak birahinya, di antara lelehan sperma yang mengotori ranjang pengantinku. Beruntung perempuan bangsat itu berhasil melarikan diri, walau tanpaengenakan sehelai benang pun. Kalau tidak dia akan jadi korban kedua pisauku.

Lalu mengapa kalian penduduk desa mengejarku seolah aku penjahat? Mengapa kalian tidak mau mendengarkan penjelasanku? Mengapa kalian memaksaku terjun di jurang ujung desa? Apa salahku? Sudahlah! Kejadian yang sudah bertahun-tahun lalu tak mungkin ku lupakan tapi aku memaafkan. Sesekali aku pulang ke desa dan membantu para orang tua yang lalai menjaga anaknya. Membawa anak yang terlantar dan memeliharanya sementara sampai orangtuanya sadar kalau anaknya tidak pulang.

Bluk... Bluk... Ting...
Bluk... Bluk.... Ting...
"Santo... Le... Pulanglah! Bapak ibu mencarimu!"

Suara-suara dari luar rumahku terdengar memanggil Santo. Orangtua anak manis ini telah sadar rupanya kalau anaknya hilang. Ku angkat perlahan Santo dan kubawa ke teras rumahku, kubaringkan dia di lantai beralas tikar. Mudah-mudahan mereka segera melihat keberadaan Santo. Terima kasih le cah bagus! Sudah menemaniku beberapa jam ini.

" Pakdhe lihat di bawah rumpun bambu itu! Santo tidur di sana!" aku mendengar suata pemuda berteriak. "Oalah leeee... Akhirnya kamu ketemu. Sudah dinasehati kalau main jangan sampai magrib nanti di culik wewe gombel!" seru seorang perempua tua sambil mengusap kepala Santo. Mereka segera membawa Santo menjauh dari rumahku.

Perlahan ku tutup jendela rumahku yang menghadap ke arah desa. Santo sudah pulang, semoga sejak hari ini orangtuanya lebih memberikan perhatian padanya sebagai tanda syukur di beri amanah oleh Tuhan.

#poeds 171016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline