Lihat ke Halaman Asli

Sari Aryanto

fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan Bukan Makhluk Kelas Dua

Diperbarui: 12 September 2016   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Salahkan Lara Jonggrang menolak Bandung Bandawasa menjadi suaminya? Kenapa dia harus dikutuk menjadi arca dan dihujat banyak orang seolah dia PHP in si Bandung! Tapi tahukah kau kalau Jonggrang hanya mencari cara untuk menghindari menikah dengan pembunuh ayahnya? Sumur Jalatundha dan Candi Sewu hanya alat menunda pernikahan itu. Apakah atas nama cinta Bandung boleh memaksakan kehendak pada Jonggrang??

Atau hinakah Gandari mengutuki Dewa Surya dan enggan menatapnya seumur hidup? Padahal pancaran matanya mengandung kekuatan mistis yang melindungi Duryudana di padang Kurusetra hingga kebal terhadap senjata. Banyak yang menyalahkan Gandari atas kekecewaannya dinikahi raja Destrarata. Tapi tahukah kau dia dijanjikan menikah dengan pangeran tampan Pandu? Tak pantaskah dia kecewa?? Bukankah cinta berhak memilih kenapa Gandari tidak??

Atau nistakah ketika Pradnya Paramitha membiarkan Akuwu Tunggul Ametung dibunuh di depan matanya karena muslihat Ken Angrok? Dan jika pembunuhan atas diri sang Akuwu berimbas pada tragedi Singhasari, apakah dia penyebabnya? Bukankah dia diculik, dipaksa dan diperkosa haknya sebagai perempuan oleh sang Akuwu? Apakah hina jika kemudian dia menikahi begal berandal itu? Bukankah cinta tidak mengenal kasta???

Satu lagi, mengapa masyarakat menganggap yang dilakykan Dayu Datu si Calon Arang seratus persen kejahatan? Apakah salah jika seorang ibu berjuang demi kebahagiaan putrinya? Bukankah adat yang menempatkan Dayu Datu sebagai kelas nomer dua hanya karena kodratnya sebagai perempuan, dan status jandanya? Apakah karena semua kesalahan yang dia perbuat, dia tak berhak untuk bertobat? Mengapa dia dimusnahkan tanpa sempat memperbaiki diri? Bukankah dia sudah memohon untuk di ruwat sebelum dikalahkan?

Aku tidak menggugat, aku hanya merenung. Mengapa perempuan selalu disalahkan atas semua tragedi cinta? Bukankah cinta tak bersuara jika bertepuk sebelah tangan? Kami perempuan bukan masyarakat kelas dua! Kami diciptakan istimewa, dan untuk tujuan istimewa pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline