Lihat ke Halaman Asli

sari rachmah

Comunity writer di IDN , kaskuser, medium, kompasiana, blogger

Masyarakat Komunal, Habis Menikah Terbitlah Utang!

Diperbarui: 25 November 2024   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pernikahan (freepik.com/Freepik)

Sudah bukan rahasia, di Indonesia ada semacam batas usia pernikahan yang menurut sebagian besar pandangan masyarakat menjadi tabu jika dilanggar. Terutama untuk para wanita, dibatasi hingga minimal usia 25 tahun. Jika menikah pada usia lebih dari 25 tahun, maka tetangga sekitarnya akan mencapnya secara negatif dengan sebutan “perawan tua” , “tak laku-laku” dan lain sebagainya. Sebab kata tetangga, menikah di atas usia 25 tahun akan sulit punya anak. Selain itu, ada juga yang beranggapan jarak usia dengan anaknya akan terlalu jauh sebab menurut pandangan yang turun temurun dari nenek moyang hingga ke generasi terkini, akan lebih menyenangkan ketika anak kita telah beranjak dewasa orangtua masih muda sehingga hubungannya bisa lebih seperti teman. 

Apakah cukup sampai disitu? Oh, tentu tidak. Sebab, saat berkumpul bersama keluarga besar, mereka akan sering bertanya, “Kapan nikah?” Apakah hal ini cukup memberi tekanan psikologi? Bagi sebagian orang tentu lebih dari cukup memberi tekanan psikologi sehingga dengan serta merta “buru-buru” mencari calon pendamping tanpa seleksi yang ketat, untuk menjawab pertanyaan “Kapan nikah?” serta membuang label negatif sebagai “perawan tua.”

Buru-buru menikah walau mengetahui realitanya bahwa calon suami belum cukup mapan untuk membiayai pesta pernikahan, apalagi biaya sehari- hari selama berumah tangga sebab yang penting sudah punya status “married.” Alhasil, sang calon mempelai rela berutang demi pesta pernikahan dengan pemikiran paling tidak sang istri masih bekerja sehingga masih bisa mencicil utang pernikahan setiap bulannya. Di sisi lain, tak jarang calon pengantin beranggapan pasti akan balik modal sebab masih ada uang amplop nikahan dari para tamu yang datang. Namun, realitanya tidak menjamin hasilnya sesuai yang diharapkan, kadang untung kadang juga buntung.

Terlepas dari semua itu, sesungguhnya mereka tidak tahu bahwa berumah tangga tidak semudah itu. Ada saja goncangan, godaan dan ujian selama berumah tangga. Entah itu dari sisi psikologi, mental, keluarga besan, keluarga sendiri, diri sendiri bahkan perekonomian. Tidak kuat dengan semua goncangan itu, pasangan yang tadi buru-buru menikah demi status “married” banyak juga yang akhirnya bercerai dan menjabat label yang bahkan lebih positif dari masyarakat daripada sebelum menikah “janda kembang”  dan “duda keren” walau cicilan utang masih menumpuk untuk diselesaikan. Habis menikah terbitlah utang!

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal yang sangat terikat dengan komunitasnya, salah satunya komunitas tetangga. Setelah tadi berutang demi buru-buru menikah gara-gara tak kuat dengan label “perawan tua” dari tetangga atau pertanyaan “kapan menikah” dari orang-orang sekitar, ada juga yang berutang demi menyenangkan tetangga. 

Maksud hati tak ingin berutang dan menikah secara sederhana, tapi apa daya takut dighibahi tetangga. Sehingga, demi menghindari ghibah tetangga maka diadakan pesta pernikahan yang lebih mewah, dekorasi yang wah dan menu makanan yang luar biasah. Belum jika tinggal di kampung yang ikatan komunitasnya lebih kuat lagi, bisa-bisa tamu yang diundang bukan satu RT, tapi satu kampung yang jumlahnya bisa beberapa kali lipat dibanding masyarakat satu RT.

Tidak hanya tetangga, circle pertemanan sering juga menjadi faktor pemicu calon pasangan berutang demi pesta pernikahan mewah. Melihat mewahnya pesta pernikahan dalam circle pertemanan, bagi beberapa orang menimbulkan rasa gengsi dan keinginan untuk membuat pesta pernikahan yang sama mewahnya, jika tak bisa lebih mewah. 

Terkadang, dalam hal utang demi sebuah pernikahan ada juga kisah anak berbakti yang sangat menyayangi orangtuanya. Realitanya, beberapa orang tua bersikeras agar anaknya turut mengundang kenalan-kenalannya, orang- orang yang pernah berjasa dalam hidup mereka dan orang-orang yang sangat dihormati orangtua sehingga tamu yang diundang bisa melebihi rencana awal. Walau berat hati, merasa tidak kenal dengan orang-orang tersebut, tapi demi menghormati orangtua dan tak ingin membuat orangtua merasa malu, akhirnya calon pengantin terpaksa menaikkan budget pesta pernikahan dengan cara berutang.

Orangtua mana yang tidak bangga anaknya telah sukses, memiliki pekerjaan yang baik dan pasangan dari keluarga baik-baik? Saking bangganya, beberapa orang tua ingin menunjukkan dan membuktikannya melalui pesta pernikahan yang wah. Makanan, hiburan, dekor, bahkan baju pengantinnya semua dikonsep dengan sangat mewah sekedar untuk ditunjukkan pada para kenalannya bahwa “anak saya telah sukses.” Selain mewah, komposisi tamu yang diundang bisa sampai 90 persen terdiri dari para kenalan orang tua. Sebagian anak-anak yang berbakti ini tak ingin mengecewakan orang tuanya walaupun tidak sesuai keinginannya, sehingga terpaksa berutang untuk memenuhi keinginan orangtua. 

Ini bukti bahwa ikatan dalam sebuah komunitas, baik itu komunitas orang tua atau  calon pengantin itu sendiri sangat mempengaruhi keputusan calon pengantin untuk berhutang demi sebuah pesta pernikahan yang mewah dan tidak terkesan biasa saja. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline