Ribut-ribut Pemilihan Presiden 2014 ini selain membawa dampak polarisasi di negara kita, terutama sangat terasa di dunia sosial media, ternyata membawa dampak positif. Masyarakat terutama di kota-kota besar terutama di Indonesia Bagian Barat yang selama ini seolah-olah tidak peduli dengan Papua apalagi Papua Pegunungan, tiba-tiba menjadi peduli atau istilah anak muda jaman sekarang "Kepo".
Setelah sebelumnya kita menjadi paham apa itu "Noken", beberapa hari ini muncul selebritis Novela Nawipa, wanita yang mengaku orang gunung dari Paniai, yang menjadi bahan pembicaraan tidak hanya di dunia maya tapi juga di dunia nyata bahkan berita.
Sebenarnya seperti apakah orang gunung Papua? Kebetulan saya pernah bekerja dan tinggal di kawasan tambang di Pegunungan Tengah Papua. Saya bergaul dengan kolega asal suku Amungme, Damal, Mee, dan Dani. Setiap Minggu saya bertandang ke desa terdekat di Lembah Banti Waa dimana sinyal telepon mendadak hilang.
Nah ini cerita saya dari Papua, bagian dari novel saya "Amole" silakan dinikmati, dan mari berterima kasih pada Pemilu Presiden ini yang membuat kita sebagai bangsa Indonesia lebih mengenal saudara kita di daerah paling timur Indonesia yang selama ini terlupakan.
Johanes Magal, ko pu rumah dimanakah?
Kami mempunyai kolega asal Papua yang terkenal sebagai orang Papua teramah di kantor. Nama lengkapnya Johanes Magal, asal suku Damal salah satu dari 7 suku yang direlokasi dari kawasan tambang Amolepura. Suku Damal sebenarnya bukan asli kawasan Pegunungan Tengah, tetapi karena pernah berjasa kepada suku Amungme, mereka dibolehkan tinggal di Amungsa, wilayah adat milik Suku Amungme yang sejak perjanjian kontrak karya tahun 1967 menjadi konsesi perusahaan tambang dari Amerika. Amungsa adalah kata dalam bahasa Amungkal (bahasa percakapan yang digunakan Suku Amungme) berasal dari 2 kata, amung yang berarti utama atau pertama, dan sa yang berarti kawasan atau wilayah, sehingga amungsa bisa diartikan kawasan utama atau kawasan pertama.
Kembali lagi ke Johanes Magal, karena gayanya yang 'fungky', teman-teman lalu memanggilnya Jojo, "Biar terkesan keren" begitu kata mereka dan ternyata Jojo yang ramah tidak keberatan. Laki-laki Damal berusia 27 tahun ini tidak tinggal di desa-desa terdekat dengan Amolepura, seperti Banti Waa, Arwanop atau Tsinga, tetapi dia tinggal di dekat Paniai.
Pertama kali dikenalkan di kantor, terus terang aku cukup ngeri, perawakan Jojo tinggi besar, dengan perut gemuk dan kulitnya sangat hitam, bukan coklat gelap seperti Sri Magai, mirip orang-orang Nigeria yang aku sering lihat di Montmartre, Paris. Sekilas tampilannya mirip preman-preman di daerah kumuh Jakarta. Tapi kengerianku mencair, saat dia berdiri, menyalami aku sambil memamerkan gigi-giginya yang berwarna putih kekuningan karena nikotin dan pinang. Senyumnya sangat ramah dan bukan basa-basi. Jojo termasuk orang Papua yang berpendidikan bagus, dia mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah di fakultas ekonomi salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Di kantor dia bekerja mengurus perjalanan cuti karyawan nasional.
Yang aku suka dari Jojo, dia sangat ceria, semangat dan sangat membantu kalau ada yang kesusahan, meskipun kami tidak tahu kesulitan apa yang dia hadapi di keluarganya di Paniai. Aku jarang melihat dia cemberut atau kelihatan sedih. Mukanya riang, dan kalau tertawa benar-benar lepas seolah tidak ada masalah dalam hidupnya. Kalau sudah begitu, terlihatlah deretan gigi-gigi putih kekuningannya, kontras dengan kulit hitamnya. Kadang-kadang saat kami kelihatan serius, dia akan berbagi cerita mop, lelucon khas Papua yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal.
Suatu hari saat melihat kami sibuk sendiri-sendiri karena proses perekrutan buruh tambang yang jumlahnya ratusan, Jojo lalu berdiri, "Hai teman, kalian berhentilah bekerja sebentar, sa pu cerita mop, dengar dulu!" Aku melirik ke dia, Jojo ini seharusnya menjadi "stand up comedian" yang mulai marak di Jakarta, dia memiliki bakat alami dan hapal banyak cerita mop yang sangat khas Papua. Mop sendiri diciptakan anak muda Papua yang menuruku sangat cerdas mengenal diri mereka, kadang-kadang menertawakan kebodohan mereka atau menyindir tentara yang belasan tahun "dekat" dengan kehidupan mereka sejak kecil.
"Meno! Ko mulailah lah, tong mau lembur kah?" ucap Syamsul dengan aksen Bugisnya.
Jojo melirik Syamsul, "Hei oyame, bisa kasih sabar ka?" Jojo memasang muka serius.
"Kenapa ko kasih serius itu muka mo?" tanya Lindi.
"Ah sa mau cerita tentang tentara Indonesia! Dengar ini cerita serius!" Jojo pun memulai ceritanya "Suatu hari, ada tentara yang bergerilya di dalam hutan Paniai untuk patroli. Karena tentara su lapar, saat ada lihat pohon kelapa yang buahnya banyak, jadi pace tentara langsung naik ke atas pohon kelapa. Ternyata pohon kelapa itu milik Pace Nerius. Pas pace Nerius keluar rumah, langsung lihat ada orang diatas pohon kelapanya. serentak pace Nerius langsung batariak tra baik....
Nerius : wooooiiiii.....ko turun!!!!!!!!!!
Karena tentara su merasa bersalah dan tra minta ijin sama yang punya pohon, jadi tentara turun dan tra banyak bicara.
Pas su mau sampe di bawah, Nerius lihat pace tentara pu laras senjata yang ada keluar sedikit, Nerius tra jadi marah. Dia su pusing dan takut yang bukan main punya. Nerius pikir.....pikir...pikir....pas dapat ide, dan tentara juga su sampai dibawah.
Tentara : Bapak yang tadi suruh saya turun ka...???
Nerius: ahhh....iyo pa. tadi sa suruh bapa turun supaya bapa pindah ke pohon sebelah saja, dia pu buah lebih banyak....!!!!
Hahahaha kami tertawa terbahak-bahak, inilah cara orang Papua menertawakan kepasrahan mereka yang tanahnya belasan tahun dijadikan DOM (Daerah Operasi Militer), mereka sudah biasa melihat tentara dari tanah Jawa atau daerah lainnya sejak kecil.