Dalam beberapa hari ini dunia sedang mengalami fenomena dimana sebuah pandemi menggerogoti kehidupan, perekenomian, serta kepemerintahan. Beberapa negara menerapkan lockdown atau pembatasan sosial secara besar-besaran, tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia sendiri banyak masyarakatnya mengatasi masa-masa social distancing dan Work Form Home (WFH) mengunduh serta berlangganan media hiburan seperti Netflix, Spotify, serta media lain. Lalu apa hubungannya dengan fanatisme?
Pada masa social distancing dan WFH banyak orang melakukan kegiatan sembari mengisi waktu luang salah satunya mendengarkan musik dan menonton live streaming. Apalagi beberapa hari yang lalu musisi asal Korea Selatan Blackpink dan BTS baru mengeluarkan lagu baru. Seperti yang kita ketahui setiap orang memiliki idolanya masing-masing.
Di Indonesia trend idol Korea Selatan sangat kuat basisnya dan mempunyai fans yang sangat besar. Bahkan banyak yang menjadikan idolanya sebagai style tersendiri atau Bahasa gaulnya dengan sebutan Edgy. Namun banyak sekali seorang fans sangat terobsesi dengan idolanya. Kita bisa mengkaitkan fenomena tersebut dengan konsep fanatisme.
Prakoso menjelaskan fanatisme adalah sebuah antusias secara berlebihan baik itu ideologi, figure atau tokoh tertentu, ataupun sebuah lembaga tertentu tanpa mengedepankan rasionalitas. Bisa dibilang fanatisme sebuah semangat atau obsesi yang sangat luar biasa dalam memandang suatu hal, tak terkecuali dibidang music. Bahkan tidak sedikit orang yang sangat mendewakan seorang idola serta men-underestimate (meremehkan) genre favorite orang lain.
Dalam fenomena ini penulis melakukan wawancara kecil kepada seseorang seseorang yang sudah lama berkencimpung di dunia seni theater dan seorang yang sangat mencintai genre musik rock, khususnya band GreenDay.
Narasumber yang berlatarkan tim dari sebuah theater ini ber-opini bahwa wajar-wajar ketika seseorang mempunyai seorang idola. Bahkan ia sangat mewajarkan fenomena ketika seorang fans mendewakan atau men-underestimate genre orang lain. Hal ini ia wajarkan dikarenakan itu adalah hak setiap orang namun dengan catatan cepat atau lambat semagat atau obsesi yang ia miliki akan menurun.
Namun ia berpendapat ketika seorang seniman mempunyai karakter tersebut, ia bukanlah seorang seniman. Karena menurutnya seni adalah sebuah ilmu yang abstrak dan tdak semua orang mempunyai defiisi seni yang sama.
Berbeda dengan narasumber yang kedua, ia bercerita bahwa ia pernah sangat fanatik dengan band rock asal California, USA, yaitu GreenDay. Pada masa SMA ia sering mengejek serta merendahkan genre lain khususnya boyband dan girlband asal Korea Selatan. Namun pada masa ia mengalami fase perkuliahan, persepsinya akan dunia musik mulai berubah saat dia bergabung dengan salah satu band lokal ditempatnya kuliah. Ia bahkan mulai menyukai serial drama Korea Selatan walaupun ia tetap menjadi fans garis keras GreenDay.
Ia menjelaskan sangat wajar ketika kita melihat seseorang sangat ambisius dan bersemangat dengan seorang idola. Karena seseorang membutuhkan seorang idola atau patokan dalam mencari jati dirinya. Namun ia kurang setuju ketika seseorang melakukan bullying terhadap kegemaran orang lain. Karena manusia adalah mahkluk paling cerdas di dunia ini tidak sepantasnya mendewakan dan melakukan underestimate kepada orang lain.
Selain itu, penulis mengambil opini dari seorang Stand Up Comedian bernama Pandji Pragiwaksono bercerita melalui Stand Up-nya yang bisa ditonton di chanel youtubenya bahwa ia tidak menyukai seseorang menjadi fansnya. Bukan hanya bertugas membuat penontonnya tertawa, namun setiap dia menyelipkan sikap kritisnya kepada fenomena-fenomena yang terjadi.