Sejak munculnya pemikiran yang membedakan watak alam sosial, dengan alam fisik, lebih dari 2500 tahun yang lalu, teori tentang politik telah menarik perhatian pemikir-pemikir dari segala zaman. Perhatian manusia terhadap politik, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena manusia, meminjam istilah Aristoteles (384-322) adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon).[1]
Konsekuensi logis dari penamaan manusia sebagai makhluk politik ialah hidup dalam tatanan masayarakat yang memiliki latar belakang dan konsep pemikiran yang berbeda. Perbedaan atau keragaman budaya dalam satu sisi bisa menjadi sumbangan untuk memperkaya suatu bangsa, namun di sisi lain bisa menjadi laknat, apabila tidak mampu dijaga dan diatur dengan baik. Karenanya untuk membangun hidup baik dalam masyarakat negara, sangat diperlukan suatu konsep saling menghargai martabat sesama manusia.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, sebagai negara yang terdiri dari banyak keragaman (Suku, Ras, Bahasa dan Budaya), memiliki komposisi agama dan kepercayaan yang plural, membangun suatu tatanan komunitas masyarakat yang harmonis adalah suatu ujian disamping sebagai tugas setiap diri bangsa Indonesia. Salah satu contoh misalnya pluralitas agama dan kepercayaan yang sering menjadi sumber konflik bangsa Indonesia.
Kita tidak bisa melepaskan luasnya geografis Indonesia yakni 1,919 juta km2, sebagai alasan yang menyumbangkan pluralitas. Luasnya wilayah itu turut membentuk karakter setiap anak bangsa. Dalam membangun dan menemukan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki karakter yang plural, perlu juga satu konsep yang bisa membangun suatu masyarakat yang harmonis.
Hidup bersama dalam masyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar, selalu rentan konflik. Sejarah hidup bersama mencatat ada berbagai masalah yang muncul akibat ketidakmampuan mengatur kebebasan setiap individu. Negara kita, Indonesia menorehkan beragam persoalan politis, entah dalam membangun urusan politik, entah juga dalam urusan membangun keharmonisan antar warga.
Cela kritis dan krisis situasi politik Indonesia memberi sinyal kuat bahwa politik yang santun dalam membangun masyarakat yang harmonis mutlak dibutuhkan. Politik yang santun atau "politik yang bermartabat" -- konsep I.J Kasimo -- dalam membangun masyrakat yang harmonis, bermartabat. Sikap harmonis dan bermartabat inilah yang akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis.
Dalam usaha untuk membentuk watak Bangsa Indonesia yang berkarakter harmonis, saya akan menuangkan gagasan menarik dari Ignatius Joseph Kasimo. I.J Kasimo, demikian nama populernya, adalah seorang pemikir Indonesia yang memiliki konsetrasi penuh dalam membentuk, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagai seorang pemikir Katolik, Kasimo telah menjadi salah satu sosok yang menerangkan nilai-nilai 'kristiani' ke dalam tatanan masyrakat Indonesia yang plural. Saya akan membagi sistematisasi tulisan ini ke dalam empat bagian pokok: 1) pengantar, 2) biografi singkat I.J Kasimo, 3) pemikiran Kasimo dalam membangun masayarakat dan, 4) penutup.
Biografi I.J Kasimo
Setelah uraian pengantar di atas, saya akan membahas tentang biografi I.J Kasimo. Sebelum menarasikan lebih dalam tentang pribadi dan karakter Kasimo, saya ingin mereafirmasi pernyataan Karl Rahner (1904-1984) dalam Theological Investigations, yang menegaskan bahwa 'kita hanya dapat mengatakan apa manusia itu, dengan mengatakan apa yang menjadi perhatiannya, dan apa yang memperhatikannya'. Atas dasar kesadaran demikian, saya akan mendeskripsikan riwayat hidup I.J Kasimo berdasarkan perhatiannya dan yang memperhatikannya.
Kasimo dilahirkan di Yogyakarta sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara.[2] Kasimo lahir pada tanggal 10 April 1900 dari pasangan Ronosentiko dan Dalikem. Ayah Kasimo adalah seorang prajurit yang mengabdi di Kraton Kesultanan Yogyakarta. Ibunya, selain sebagai pengasuh untuk anak-anak, juga berjualan di pasar. Kasimo hidup di saat Yogyakarta sedang dalam masa transisi, yang mana Keraton Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII antara tahun 1877 -- 1921, mengalami suatu moderasi pemikiran. Sultan sudah merenovasi gedung sekolah dan aturan kependidikan sudah mengikuti dan menerapkan sistem pendidikan Hindia Belanda. Sebagai putera yang digolongkan dalam kaum Priyai, Kasimo sebenarnya memiliki privillege. Namun Kasimo tidak membiarkan dirinya hanyut dalam lingkungan abdi dalem. Kasimo berani meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan yang baru, dan juga mengejar mimpi baru yang tidak terbatas pada dunia kepriayian.