Lihat ke Halaman Asli

Fransiskus Sardi

Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Tarian Vera Budaya Rongga

Diperbarui: 7 September 2021   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi, Nggua Sarajawa dan Tarian Vera di Desa Komba, NTT, 26 Juni 2021

Rongga?

Pada tanggal 26 Juni 2021 di kampung Paundoa, Desa Komba, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur, dilaksanakan pesta kenduri (nggua). Nggua ini dilaksanakan di Rumah adat Liti Pumbu yang kental dengan budaya Rongga. Pesta kenduri ini untuk memperingati kematian Opa Tomas Ola pada tanggal 26 September 2020 lalu. Saya yakin orang Manggarai dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, tahu dan paham yang dimaksud dengan pesta kenduri. 

Dalam tulisan ini saya tidak membahas pesta kenduri, saya ingin fokus pada tarian vera dalam Budaya Rongga.  Sejujurnya, tulisan ini juga saya buat untuk mengenang Opa Tomas Ola, yang menjadi penggerak dan pewaris budaya Rongga. Selama 85 tahun  berziarah di bumi, ia telah menjadi pelaku sejarah dan promotor aktif budaya Rongga.  Opa Tomas telah mewariskan banyak hal. Saya ingin melanjutkan cerita tentang budaya Rongga yang selalu ia gaungkan, barangkali kisah tentang tarian vera bisa mengenang kepergiannya. Semoga!

Sebelum membahas tentang tarian vera, ada baiknya saya perkenalkan dulu siapa dan bagaimana orang Rongga itu. Etnik Rongga adalah salah satu etnik minoritas yang terdapat di Indonesia. Dalam catatan dan Kajian Ni Wayan Sumitri tahun 2016, orang Rongga berjumlah sekitar 8.000-an jiwa. Orang Rongga berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Kecamatan Kota Komba. 

Etnik Rongga tidak berada dalam satu suku saja. Ada beberapa clan yang lazim diidentikan sebagai orang Rongga. Suku-suku itu antara lain suku Liti, Raghi, Wio, Motu, Lowa, Nggana dan beberapa suku-suku lainnya yang masih bertalian dengan suku-suku ini. Suku-suku ini selalu mengunakan Bahasa Rongga sebagai bahasa harian di samping Bahasa Manggarai dan Bahasa Kolor dan juga menghidupi warisan kebudayaan khas orang Rongga seperti tarian vera.  Dalam observasi umum, suku Liti menjadi suku yang hingga saat ini masih kental dengan budaya rongga dan menekankan bahasa Rongga sebagai bahasa interaksi harian dalam kehidupan sosial. Perlu saya tekankan, bahwa ada juga suku-suku lain yang masih setia menghidupi tradisi budaya Rongga.

Mata pencaharian orang Rongga sebagain besar di bidang pertanain dengan sistem ladang yang berpindah-pindah. Di samping pertanian ladang dan perkebunan sebagai sumber kehidupannya, masyarakat Rongga juga mengenal sistem peternakan dengan sistem yang penerapannya masih sangat sederhana. Jenis ternak utama yang dipelihara adalah babi (wawi), ayam (manu), kerbau (kamba), sapi dan kuda (jara) tetapi dalam jumlah yang terbatas. Usaha pertanian utama yang diwariskan secara turun temurun adalah menanam padi (pare) dan jagung (jawa) disamping usaha-usaha perkebunan lainnya.

Tarian Vera dalam Budaya Rongga

Sebagaimana telah saya uraikan di awal, saya ingin memperkaya catatan kebudayaan, khusunya tarian vera.  Secara umum tarian vera dikenal sebagai tradisi lisan khas orang Rongga, yang secara etimologi istilah vera berasal dari Bahasa Rongga yakni kata pera yang dapat diterjemahkan dengan kata kerja 'memberitahukan, mempertunjukan atau mengajari, menasihati'. Vera juga dapat dipahami sebagai petuah dan nasihat leluhur dalam memberikan, menunjukan jalan menuju kebaikan.

Secara leksikal istilah vera berarti mempertunjukan dengan cara menari sambil bernyanyi dalam irama dan gerakan yang bersahutan antara penari dan penyayi pria (woghu) dan wanita (daghe) yang dipimpin oleh seorang pemimpin tarian (noa lako).  Nyanyian-nyanyian itu berisi petuah dan wasiat yang merupakan warisan para leluhur yang berfungsi sebagai tuntunan moral dan pedomaan etika kehidupan harian.  Syair-syair yang dinyanyikan dalam tarian vera juga sangat menekankan relasi antara Yang Ilahi, roh leluhur, dan alam semesta. Dalam tarian vera, aspek kehidupan 'manusia' Rongga ditelanjangi dan diberi makna kebaikan.

Tarian vera dilaksanakan pada malam hari dalam posisi berdiri dengan membentuk dua barisan. Barisan depan para penari perempuan (daghe) yang saling berpegang tangan setinggi ulu hati. Penari perempuan paling depan disebut ana ulu dan paling belakang, ana eko. Ana ulu dan ana eko membentuk barisan yang kuat agar tidak pisah dan putus. Ana ulu berperan menarik dan mengarahkan penari yang lain pada saat gerakan tari berlari mengelilingi arena. Barisan belakang adalah penari laki-laki (woghu). Woghu berperan melantunkan syair memberikan aba-aba kepada penari sambil berlari pelan. Gerakan kaki penari mulai pelan dan siap-siap lari dalam posisi baris berangkai dipandu oleh penari paling depan.  Gerakan kaki juga disesuaikan dengan irama syair berpantun yang dinyanyikan oleh penari pria, dibalas oleh seorang pemimpin vera (noa lako) yang berada di depan daghe.

Secara umum vera dapat diklasifikasi menjadi beberapa jenis, yakni 1) vera sarajawa (vera sedih) Vera sarajawa disebut vera sedih karena konteks peristiwa yang melatarinya adalah duka atau sedih yaitu peristiwa kematian. Tujuan pelaksanaa vera sarajawa ini untuk menghormati orang yang meninggal. Penghormatan ini dilakukan dengan mengisahkan kebajikan dan kebaikan yang dilakukan semasa hidupnya. 2) Vera haimelo adalah vera syukuran/gembira.  3) vera saju (berkaitan dengan hal-hal ganjil dalam kehidupan manusia);  4) vera dheke ra'a (berkaitan dengan pemulihan nama baik seseorang), 5) vera dheke sa'o (berkaitan dengan upacara masuk rumah adat yang baru); 6) vera gha'u gha'a (dipertunjukkan sebagai sarana hiburan); dan 7) vera mbuku sa'o (berkaitan dengan kegiatan dalam bidang pertanian) yang di dalamnya terdapat beberapa jenis vera dan salah satu di antaranya adalah vera mbasa wini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline