Barang impor terus membombardir pasar Indonesia, digitalisasi bisnis membuat platform e-commerce dipilih sebagai akses paling efektif menjangkau seluruh konsumen. Menawarkan produk yang serupa, namun dengan harga yang tak mampu diserap logika. Protes demi protes dilayangkan sejumlah produsen barang jadi sekaligus pedagang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mereka mengeluhkan beralihnya konsumen pada barang impor yang menyebabkan produk lokal tidak laku, bahkan ada sebagian UMKM yang terpaksa gulung tikar.
Sekarang pertanyaan yang timbul, seberapa penting sektor UMKM bagi perekonomian bangsa kita? Mengapa kita perlu melindungi dan memastikan barang impor tidak memusnahkan barang lokal? Sebelum itu, ada baiknya kita mengetahui definisi dari UMKM itu sendiri. UMKM adalah suatu usaha atau bisnis produktif yang dikerjakan perorangan, kelompok, maupun badan usaha serta telah memenuhi kriteria sebagai usaha. Adapun Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM menggolongkan UMKM dalam batasan omset per tahun, jumlah kekayaan atau aset, serta jumlah karyawan.
Menghimpun data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, jumlah UMKM saat ini telah mencapai 64,2 juta unit dengan menyumbang Produk Domestik Bruto sebesar 61,7% atau senilai 8.573,89 triliun rupiah. Mampu menyerap 117 juta tenaga kerja atau sekitar 97% dari keseluruhan daya serap tenaga usaha serta dapat meraup hingga 60,4% dari total investasi. Dengan demikian, UMKM pantas kita nobatkan menjadi pahlawan pertahanan ekonomi nasional. Peran UMKM sangat krusial sebagai garda terdepan membersamai negara ini melawan inflasi dan juga pandemi.
Namun, prestasi demikian ternyata belum mampu menyelamatkan UMKM dari potensi untuk bangkrut. Tsunami barang impor yang menggunkan siasat Predatory Pricing menyebabkan produk UMKM kita tidak mampu bersaing harga. Mengingat kebanyakan pelaku UMKM bangsa ini ialah pengusaha yang melakukan proses produksi dari hulu sampai ke hilir. Tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit dan pekerja yang tidak murah. Sehingga jika terus diadu dengan barang impor yang diproduksi massal, akan mencipta jurang yang terlalu curam.
Metro TV pada Oktober 2023 lalu merilis, sebuah UMKM yaitu industri tekstil di Majalaya, Kabupaten Bandung terancam bangkrut. Jutaan kain tidak terjual, hal ini menyebabkan pihak UMKM tersebut mengalami kerugian. Bahkan, terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, produk UMKM tidak semuanya kalah saing dari segi kualitas. Hanya saja tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar konsumen kita adalah kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan, pasti akan mencari harga yang lebih terjangkau.
Sudah seharusnya permasalahan UMKM versus impor tersebut menjadi perhatian banyak pihak, agar dapat segera ditemukan solusi pamungkasnya. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 tentang ketentuan kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman. Regulasi ini diharapkan mampu menjadi tameng bagi UMKM melawan ganasnya gempuran barang impor melalui pembatasan dan pengetatan arus masuk barang impor yang diberlakukan pemerintah.
Rifan Ardianto selaku Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan perdagangan jasa mengklaim Kerjasama yang terjalin antara Kemenkeu dan Kemendag dalam mengatur ketentuan perdagangan lewat sistem elektronik dan penyempurnaan proses bisnis kepabeanan akan meningkatkan perlindungan konsumen sekaligus pelaku usaha mikro, kecil dan mengengah dari serbuan produk impor.
Selain peran pemerintah dalam pembentukan kebijakan yang memihak UMKM, para pelaku UMKM juga harus mampu berkembang agar dapat menaikkan kelasnya. Tentu sebagai anak bangsa kita mendambakan produk-produk UMKM kita dapat mendunia, menguasai pasar global dengan kualitas yang sangat membanggakan. Dengan itu, UMKM kita harus disokong dan didorong ke arah kemajuan yang signifikan, dapat dimulai dari komitmen pengembangan UMKM.
Lantas bagaimana cara UMKM dapat menaikkan kelasnya? Mari kita kupas.
1. UMKM harus memiliki hubungan yang harmonis dengan konsumen