Buku berjudul Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi (thn. 2012 [Kobam]) karya Mba Savitri Scherer ini sebenarnya sebuah disertasi pada thn. 1981. Renggang waktu yang panjang itu tidak mengurangi bobot bahkan informasi "aktual"* tentang apa yang menjadi topik permasalahannya. Mengingat segala informasi dari sang pujangga terbesar abad ke-20 ini seringkali simpang siur dan berkabut. Sangat tidak mudah untuk menelusurinya selama kekuasaan Orde Baru melarang semua bentuk tulisannya. Maka, buku ini menjadi karya terbaik--yang pernah saya baca--tentang diri Pramoedya Ananta Toer. Meski buku ini dikategorikan buku sejarah (keras), metodologi yang digunakan Mba Savitri dalam merunut sejarah ini unik, yaitu dengan menelusuri benang-benang merah halus dari karya-karya Pram. Memang, dalam perkembangannya, teori-teori sastra telah mewadahi hubungan genetis pengalaman pengarang dengan karya-karyanya, juga cara pengungkapan "sejarah sastra"-nya (lht. Tzvetan Todorov, Lucien Goldmann, Hans Robet Jauss). Namun, perkembangan teori-teori sastra di Eropa tersebut kiranya belum banyak diterapkan dalam penulisan sejarah sastra di Indonesia. Sejarah sastra kita masih seputar penggolongan angkatan dan cuplikan karya-karya pengarangnya.
Nah, yang dilakukan Mba Savitri sebagai sejarawan ini justru menelusuri perkembangan sejarah mental pengarang lewat karya-karyanya. Justru inilah sebaik-baiknya cara--sejalan yang dianjurkan dalam perkembangan teori-teori sastra--untuk menelusuri sejarah sastra. Hasilnya, luar biasa! bahkan kita dapat mengetahui frustasi Pram sebagai sastrawan besar--yang kelak akan lebih besar--karena sering kali tidak punya uang dengan menelusuri benang merah pada cerpennya "Sunyi Senyap di Siang Hidup" (thn. 1956). Dulu, profesi pengarang di negeri ini berpenghasilan sangat rendah. Buku ini telah berhasil menyuguhkan fakta-fakta keras.
Dan, sebagai buku sejarah yang baik memang sepatutnya tidak final. Begitupun buku ini. Menyuguhkan simpulan Pram yang "luruh dalam ideologi" sesungguhnya hanya sampai pada karyanya Bumi Manusia (thn. 1980) yang dinilai Savitri lebih konservatif dibanding karya-karya Pram sebelumnya yang lebih revolusioner. Padahal, satu tahun kemudian Pram berturut-turut menerbitkan Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) sebagai penutup tetraloginya. Maka, simpulan me-"luruh" konservatif masih sangat bisa ditinjau ulang. [Tapi, kalau harus menunggu rampung kapan Mba Savitri lulus Ph.D-nya, he2]. Terima kasih, Mba, telah memelopori penulisan sejarah sastra Indonesia yang bernas.
*Tjatetan: djika sebahagian oerang pernah salah kira tentang sosok diri Pram jang seperti saoerang pendjahat hingga karja2nja dilarang ntu, sekiranja dalem boekoe ini memberitahoeken djarang oerang jang tahoe bahwa doeloe Pram ijalah sorang tentara (nasionalis)!--ijaitoe Sersan Majoor jang dikirim/ menjoesoep ke daerah-daerah pertempoeran goena melaporken (lisan en toelisan) perkembangan keadaan di medan perang. Inilah sekiranja jang telah mengasah kemampoen prima Pram dalem menoelis (lht. mitsalnja Perboeroean). Djoega keadaan Ajah dan Iboenja sedikit banjak tlah mempengaroehi karja2 Pram. Loear biasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H