Lihat ke Halaman Asli

Kebohongan dan Kekuasaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak alasan kenapa seseorang berbohong, bisa untuk menutupi kesalahan, menutupi rasa malu, hingga melindungi diri. Namun kebohongan juga dapat menjadi sebuah alat untuk mencapai dan melanggengkan kekuasaan.

Beberapa tahun yang lalu, penulis bertemu dengan seorang mahasiswi yang mengalami “penyakit bohong”. Oleh keluarga dan teman-temannya, ia dianggap sebagai pembohong, namun mahasiswi itu sendiri tidak merasa mengalami masalah, baginya semua kebohongannya adalah kebohongan kecil yang terlalu remeh untuk dipermasalahkan atau merupakan kebenaran yang sangat dipercayainya dan dibelanya mati-matian.
Teman-temannya kemudian membawanya ke seorang konselor. Dari hasil konseling tersebut didapati bahwa kebohongan mahasiswi tersebut telah menjadi “candu” baginya karena dengan kebohongan tersebut ia merasa berkuasa atas orang lain, yaitu mampu mengatur dan mengontrol pikiran dan perilaku mereka agar sesuai dengan keinginannya. Selain itu dari pihak ibu dan nenek si mahasiswi juga terdapat kebiasaan berbohong, sehingga kebiasaan tersebut menurun.
Mahasiswi itu adalah anak ke-2 dari 5 bersaudara. Terjepit di antara kakak yang (menurutnya) lebih cerdas daripada dirinya dan adik-adiknya yang laki-laki di dalam keluarga yang sangat kental nilai patrilineal-nya membuatnya merasa tidak memiliki kelebihan apa-apa. Ketika ia mulai dewasa dan bergaul dengan dunia luar, ia melihat bahwa manusia mudah kagum dengan kesuksesan, perhatian yang berlebihan dan kecantikan fisik, maka iapun berusaha mencapainya dengan segala cara.
Ia mulai berpacaran, tapi dengan satu pacar saja tidak cukup, ia harus lebih daripada orang lain, maka ia juga menerima tawaran berpacaran dari pria-pria lain dan untuk itu ia harus sering berbohong kepada pacar-pacarnya.
Ia mulai kuliah, dan lulus sarjana saja tidak cukup, ia harus lebih daripada teman-temannya. Maka ia menyelesaikan S-2 dari sebuah perguruan tinggi negri di Indonesia pada usia 23 tahun. Ternyata S-2 tidak cukup, teman-temannya juga ada yang melanjutkan hingga S-2. Namun apa mau dikata, keluarganya tidak punya uang untuk melanjutkan S-3. Maka iapun berbohong bahwa ia mendapatkan beasiswa S-3.
Ia ingin menikah, tapi harus mendapatkan suami yang lebih daripada teman-temannya. Maka iapun berbohong kepada keluarga dan teman-temannya tentang asal suku calon suaminya. Iapun menikah diam-diam tanpa dihadiri oleh keluarga dan teman-temannya.
Dan masih banyak lagi kebohongan-kebohongannya yang lain seperti pencurian, pergaulan bebas dan lain-lain yang sayangnya hingga saat ini tidak terselesaikan karena ia “lari” dan masuk ke lingkungan di mana tidak ada seorangpun yang mengenal masa lalunya. Di tempat yang baru tersebut, ia mulai lagi membangun kekuasaannya dengan kebohongan-kebohongan baru. Bagi mereka yang tidak mengenal masa lalu mahasiswi ini, ia adalah sosok yang sukses dan membanggakan, tapi bagi yang mengenalnya, ia bagaikan duri dalam daging.

Kebohongan yang dilakukan mahasiswi ini, terlepas dari latar belakang penyebabnya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mengubah pikiran dan sikap orang lain terhadapnya, sehingga ia terlihat lebih dibandingkan yang lain. Baginya, menjadi dirinya sendiri tidak cukup, sehingga ia perlu berbohong.

Gejala ini mungkin juga dapat kita lihat pada pejabat-pejabat negri ini yang suka berbohong untuk menaikkan citra mereka di mata orang lain. Bagi mereka menjadi diri sendiri tidak cukup, karena sesungguhnya mereka merasa rendah diri. Oleh karena itu kebohongan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan mereka, baik kekuasaan secara jabatan maupun kekuasaan secara mental dan pikiran, sebab berbohong mengubah pandangan dan pikiran masyarakat terhadap mereka.

Ketika lingkungan mereka mulai mengenali kebohongannya, mereka akan pergi ke lingkungan yang baru dan memulai kebohongan-kebohongan baru untuk mendapatkan kekuasaan. Kali ini ia telah belajar untuk menutup rapat-rapat masa lalunya sehingga tak ada orang yang dapat mengendusnya, kecuali orang-orang dari masa lalunya. Ia juga telah belajar agar kebohongan-kebohongannya itu dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga didukung oleh orang-orang di sekitarnya dan data-data. Sayangnya, orang-orang dari masa lalunya seringkali segan untuk mengungkit-ungkitnya lagi. Alasannya adalah karena malas menghadapi dan ingin melupakan, padahal dengan begitu, mereka memberikan kesempatan untuk kebohongan-kebohongan yang lebih parah lagi, yang meskipun mungkin tidak terjadi pada diri mereka sendiri, namun dapat terjadi pada orang-orang lain di tempat yang baru.

“Penyakit” ini sebenarnya dapat diatasi bila gejalanya sudah dikenali dari awal, karena pada saat itu kebohongannya belum terlalu parah dan masih memiliki kesadaran akan apa yang dia lakukan. Sedangkan pada taraf parah, penderita akan menyangkal karena dia merasa tidak berbohong, bahkan merasa bahwa kebohongannya itu nyata. Ditambah lagi dengan pergaulannya di tempat yang baru dimana orang-orang yang tidak mengenal masa lalunya mengagumi dan memujanya, semakin menambah keyakinannya bahwa dia hidup dalam kenyataan sedangkan orang-orang di masa lalunya yang melawannya adalah orang-orang yang iri dan cemburu dengan kesuksesan dan kekuasaannya.

Pada situasi seperti ini, yang perlu dilakukan bila ingin si penderita sembuh adalah dengan semangat kesatuan dan keteguhan hati dari orang-orang yang mengenal masa lalunya untuk menantangnya hingga mengakui kebohongan-kebohongannya. Tapi tidak berhenti di situ, setiap orang juga harus meyakinkannya bahwa bila ia mengakui dan meminta maaf atas perbuatannya yang telah menyakiti hati semua orang, maka mereka akan mengampuni dan menerima dia apa adanya. Bila ia belum siap, berikan waktu untuk berpikir, namun jangan biarkan ia kembali kepada situasi dimana ia dikagumi dan dipuja karena kebohongan-kebohongannya sampai ia benar-benar pulih. Tidak gampang memang, bahkan kadang mustahil untuk dilakukan terutama apabila sudah menyangkut pejabat pemerintah. Itu sebabnya banyak yang memilih untuk membiarkan saja, yang penting ia tidak mengganggu kita lagi. Tapi mau sampai kapan dibiarkan, sampai muncul korban-korban berikutnya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline