Lihat ke Halaman Asli

Praktik Pembiayaan Berbasis Syariah Melalui Platfrom Crowdfunding

Diperbarui: 4 Oktober 2024   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Praktik pembiayaan berbasis syariah melalui platform crowdfunding kini mengalami perkembangan pesat, seiring dengan meningkatnya kebutuhan modal usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di tengah tantangan ekonomi dan keterbatasan akses permodalan dari lembaga keuangan konvensional, model ini menawarkan alternatif yang lebih inklusif bagi pelaku usaha. Crowdfunding berbasis syariah memberikan akses modal melalui sistem yang dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, di mana akad-akad seperti mudarabah (bagi hasil) atau musharakah (kemitraan) sering digunakan. Ini memungkinkan pelaku UMKM untuk memperoleh dana tanpa terjebak dalam praktik riba (bunga), yang dilarang dalam Islam.

Namun, di balik lonjakan popularitasnya, muncul sejumlah permasalahan hukum yang perlu dicermati. Seiring dengan pertumbuhan volume transaksi dan meningkatnya jumlah pengguna platform, praktik crowdfunding syariah mulai menghadapi berbagai tantangan. Salah satu isu krusial yang mencuat adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah, baik dalam hal transparansi pengelolaan dana, kesepakatan bagi hasil, maupun dugaan praktik riba terselubung. Misalnya, terdapat kasus di mana ketidaksesuaian antara kesepakatan akad awal dan realisasi pembagian keuntungan antara investor dan pelaku usaha terjadi, di mana investor menerima keuntungan tetap yang menyerupai bunga, bukan berbasis bagi hasil sebagaimana yang diatur dalam akad syariah. Transparansi dalam pengelolaan dana juga menjadi pemicu utama masalah ini. Banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku usaha atau platform tidak secara jelas memberikan informasi tentang pengelolaan dana yang terkumpul, menciptakan kekhawatiran akan adanya unsur gharar (ketidakpastian) yang bertentangan dengan prinsip syariah. Masalah ini semakin kompleks dengan pertumbuhan teknologi finansial (fintech) yang cepat, sering kali mendahului regulasi yang memadai untuk mengawasi praktik-praktik tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan dana atau praktik yang merugikan pihak-pihak tertentu, terutama investor kecil yang mungkin kurang memahami detail dari setiap akad yang diterapkan.

Dengan munculnya kasus-kasus tersebut, crowdfunding syariah kini dihadapkan pada tantangan serius untuk memastikan bahwa praktiknya tetap selaras dengan kaidah-kaidah hukum syariah, sekaligus menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah. Regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih baik mungkin menjadi solusi, tetapi yang lebih penting adalah komitmen dari semua pihak untuk menjalankan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi yang menjadi fondasi utama dalam ekonomi syariah.

Kaidah dan Norma Hukum yang Berkaitan dalam Ekonomi Syariah: Perspektif Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris.

Dalam sistem hukum ekonomi syariah, terdapat beberapa kaidah dan norma hukum yang mendasari setiap transaksi. Kaidah yang paling mendasar adalah larangan riba, yang secara tegas dilarang dalam Al-Qur'an dan Hadis. Riba, yang didefinisikan sebagai tambahan yang tidak sah dalam transaksi pinjaman atau jual-beli yang memberikan keuntungan tidak adil kepada satu pihak, dianggap sebagai eksploitasi dan bentuk ketidakadilan yang harus dihindari. Larangan ini memiliki akar yang kuat dalam ayat Al-Qur'an, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 275: "...Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...". Dengan demikian, setiap transaksi dalam ekonomi syariah, terutama dalam platform crowdfunding, harus memastikan bahwa tidak ada unsur riba yang terlibat, dan kepatuhan terhadap peraturan tersebut diharuskan agar transaksi dianggap sah secara hukum.

Sementara itu, pendekatan yuridis empiris berfokus pada bagaimana norma-norma hukum ini diterapkan dalam praktik sehari-hari, serta dampaknya terhadap masyarakat. Dalam konteks crowdfunding syariah, norma transparansi menjadi elemen krusial yang harus dijunjung tinggi. Investor berhak untuk mengetahui secara jelas bagaimana dana yang mereka investasikan dikelola dan bagaimana keuntungan akan dibagi. Dalam hal ini, transparansi informasi mencakup semua tahapan transaksi, dari penggalangan dana hingga pembagian hasil. Kurangnya transparansi dapat menciptakan gharar, yaitu ketidakpastian yang bertentangan dengan prinsip syariah. Misalnya, jika platform crowdfunding tidak memberikan informasi yang cukup mengenai penggunaan dana atau pembagian keuntungan yang tidak sesuai dengan akad, maka hal ini dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip syariah yang lebih luas, termasuk keadilan dan ridha. Pendekatan empiris menyoroti pentingnya mengamati bagaimana masyarakat merespons dan beradaptasi terhadap norma-norma ini dalam praktik, sehingga memungkinkan identifikasi potensi masalah yang mungkin muncul dalam implementasi.

Disamping itu, syariah juga menekankan pentingnya ridha, yaitu kesepakatan yang sah antara semua pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam setiap akad, kesepakatan harus didasarkan pada pemahaman yang jelas dan saling pengertian tanpa adanya unsur paksaan atau penipuan. Dalam konteks crowdfunding syariah, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini seperti adanya unsur riba yang disamarkan, ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan, atau penyalahgunaan dana dapat membuat transaksi tersebut dianggap tidak sah menurut hukum syariah.

Oleh karena itu, baik pendekatan yuridis normatif maupun yuridis empiris saling melengkapi dalam mengawasi dan menegakkan prinsip-prinsip syariah dalam ekonomi. Regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif terhadap platform crowdfunding syariah sangat penting untuk menjaga integritas sistem keuangan syariah dan memastikan bahwa setiap transaksi tidak hanya memenuhi syarat legalitas, tetapi juga berpegang pada etika dan moralitas yang diamanatkan oleh syariah. Dengan demikian, kaidah-kaidah seperti larangan riba, keadilan, transparansi, dan ridha berfungsi sebagai landasan yang kokoh untuk memastikan bahwa transaksi ekonomi dalam konteks syariah berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Aturan Hukum dalam Crowdfunding Syariah

Dalam konteks hukum ekonomi syariah, platform crowdfunding yang menggunakan akad-akad syariah seperti mudarabah dan musharakah harus tunduk pada berbagai aturan hukum yang ditetapkan oleh lembaga berwenang di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang memberikan kerangka regulasi agar praktik keuangan syariah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Aturan-aturan ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga berfungsi untuk melindungi konsumen dan memastikan keadilan dalam transaksi.

1. Regulasi dari OJK. OJK, sebagai otoritas yang mengatur sektor keuangan di Indonesia, berperan penting dalam mengawasi platform peer-to-peer lending berbasis syariah. OJK telah mengeluarkan peraturan, seperti POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang juga mencakup layanan yang berbasis syariah. Aturan ini mewajibkan setiap penyelenggara layanan untuk memperoleh izin dari OJK dan memastikan bahwa sistem keuangan yang digunakan mematuhi prinsip-prinsip syariah yang diatur oleh DSN-MUI. Selain itu, OJK menuntut agar ada transparansi dalam pengelolaan dana serta mekanisme penyaluran dana kepada pihak yang meminjam, guna mencegah adanya unsur gharar (ketidakpastian) dan riba (bunga).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline