Lihat ke Halaman Asli

Perangi Korupsi dan Pungli “Nyali” Saja Tidak Cukup

Diperbarui: 19 Oktober 2016   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 (sumber gambar:http://www.bbc.com/indonesia)

Dalam memberantas korupsi salah satu negara asia seperti China sangatlah serius dan tidak main-main. Seperti yang diterapkan Presiden Tiongkok Hu Juianto sejak terpilih sebagai presiden tahun 2002 telah menyiapkan seribu peti mati untuk para koruptor untuk dirinya jika suatu hari terbukti korupsi sebuah janji yang berani. Kalau di indonesia , "siapkan 1000 peti mati untuk para koruptor dan sisakan 1 peti mati untuk orang yang melaporkannya."

Negara Tirai Bambu menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku korupsi tanpa tebang pilih, bukan hanya peti mati nama-nama dan gambar pejabat korupsi dipajang dan mendidik warganya membenci korupsi melalui cara yang tidak biasa, yaitu dengan bermain game online, dimana para pejabat itu disiksa dalam game online tersebut.

Selama kepemimpinannya Juianto sudah menjatuhkan hukuman mati sebanyak 164 ribu lebih anggota partai karena menguras uang negara lebih dari jutaan dollar amerika. Menurut Hu Juianto “perang melawan korupsi adalah perjuangan panjang, rumit dan susah karena partai praktek korupsi hampir terjadi pada setiap tingkatan birokrasi di China. Dan untuk memberantasnya dibutuhkan niat yang kuat dan keteguhan hati,” pungkasnya.

Sepertinya Presiden kita Joko Widodo bisa mengadopsi hukuman mati ini, karena banyak korupsi dan pungli hanya perang statement, media pun terlalu heboh memberitakan OTT  pungli di Kemenhub, sekarang aja kedapatan, praktek pungli itu sudah sangat lama berlangsung. Takut diancam, pangkat mandeg, tidak populer alasan tepat menutupi pungli,  boleh jadi sama-sama menguntungkan maka penyakit itu baru terkuak sekarang. Statement tidak akan ada ujung pangkalnya, terkesan pencitraan beberapa pejabat abal-abal kala orang nomer satu turun tangan. “tong kosong nyaring bunyinya" hanya menambah masalah tidak pernah menyelesaikan masalah.  Selama masih ada “kepentingan” dikatakan korupsi jika tertangkap tangan KPK, yang tidak tertangkap tidak korupsi. Demikian Pungli dikatakan pungli karena tertangkap tangan satgas pungli, kalau lolos secara diam-diam pungli jalan terus.

Ambil contoh muridnya Kanjeng Dimas selama ini mereka tidak berani mengungkap kebusukan gurunya, ketika dia didapati akan membongkar kebusukan Kanjeng nyawanya dihabisi, begitulah cara kerja keuangan yang maha kuasa tanpa bicara langsung beraksi.

Aksi manusia berbulu domba sering kita jumpai dalam cara kerja Birokrat, awalnya pejabat tersebut kritis terhadap penyelewengan di kantor. Seiring jalannya waktu karakter kritisnya melempem bak krupuk kena air, alasannya selalu diberi perjalan dinas, mulailah melunak karakter aslinya. Dengan begitu atasan di kantor mengetahui kelemahan sang eselon yang dikenal kritisi. Ma'af pejabat seperti ini saya sebut Reformasi Mental bermental tempe, lembek, mudah dibujuk rayu agar mudah diajak berkonspirasi. Maka niat Jokowi menjalankan progam Reformasi Birokrasi dan Reformasi Mental berjalan tidak maksimal.

Beginilah siklus kehidupan politik birokrasi negeri Dimas Kanjeng selama ini menguasai panggung politik tidak pernah terusik. Selama kita mampu melayani pimpinan alias ABS (asal BOSS senang) maka hidup bawahan dibawah linangan berlian, tat kala mencoba membongkar kelicikan, kongkalikong, konspirasi para BOSS mengamankan sebuah proyek maka bukan hanya nyawa, karier kita tidak akan pernah berkembang, sadisnya justru malah di black list hanya dianggap "duri dalam daging" dibiarkan membusuk di tempat sampah sebagai ornamen sebuah dinding toilet.

Presiden Jokowi tidak bisa berperang  sendirian melawan korupsi dan pungli, akan tetapi niat baik beliau harus diapresiasi. Masyarakat juga aktif memerangi pungli jangan malah memanfaatkan pungli sebagai jalan pintas mencapai suatu tujuan, misal saat pendaftaran sekolah, nilai anaknya tidak mencukupi untuk masuk ke sekolah tersebut, akhirnya karena banyak uang orang tua tersebut membayar “oknum” sekolah agar anaknya diterima, bahasa populernya LETJEND (Lewat jendela).  Masih banyak contoh-contoh praktek pungli terjadi di institusi pelayanan publik mulai dari sabang hingga merauke. Selama masih ada budaya kongkalikong, niat presiden memburu “macan” elit maupun “lalat” rendahan akan mengalami kendala.

Tidak mudah memang memerangi korupsi dan pungli, namun tidak ada yang tidak mustahil dengan catatan perlu keteguhan hati dan iman, karena godaan uang lebih besar dari godaan setan yang terkutuk. Dengan dibarengi niat baik masing-masing individu tidak memberi uang lebih atau mencari jalan pintas korupsi dan pungli bisa dicegah.

Masyarakat ikut melaporkan apabila terjadi kecurangan atau penyelewengan terhadap pelayanan publik, jangan diam saja, insya alloh praktek-praktek tersebut tidak akan berkembang biak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline