Lihat ke Halaman Asli

Sarah Silvia

A writer, marketer, and a friend.

"Perempuan, Apa yang Kau Kejar?"

Diperbarui: 26 April 2020   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tidak menyalahkan jika kamu bergidik melihat judul artikel ini. Ya, pernyataan ini dapat dibedah dari berbagai sisi, tergantung konteks dan tujuan pertanyaan itu. Namun sayang, banyaknya yang saya dengar, bahkan beberapa kali ditujukan pada saya pun, adalah pertanyaan yang mengandung konteks bahwa sebagai perempuan mengapa repot mengejar mimpi, karena kodrat perempuan adalah di rumah dan mengurus keluarga. 

Masih dalam nuansa Hari Kartini, sebuah simbol perayaan atas diangkatnya harkat martabat kaum wanita, yang sejak dulu 'terpenjara' dalam sistem patriarki kental di Indonesia. 

Dari pandang saya, patriarki di Indonesia masih kental, dan saya merasa bahwa Dewi Sartika pantas untuk menjadi icon bangkitnya perempuan di Indonesia, dengan jasanya mendirikan Sekolah Istri dan perannya memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. 

Menyambung pernyataan awal, menjadi ironis ketika saat penjajahan dulu Dewi Sartika memperjuangkan para wanita untuk mendapatkan pendidikan agar menjadi manusia-manusia terpelajar, menguatkan akal agar tidak hanya menjadi objektifikasi pria saat dulu, kemudian di era sekarang justru pertanyaan "apa sih yang kamu kejar?" saling dilempar oleh sesama perempuan.

Saya percaya semua peran manusia beragam, pun percaya bahwa stigma sosial atau genderisasi adalah penjara yang melimitasi ruang gerak manusia. Stigma 'laki-laki harus kuat, wanita harus lemah lembut, suami yang mencari nafkah, istri mengurus rumah tangga' dan sebagainya pernah saya bahas dalam keresahan saya mengenai stigma. 

Memang, hal-hal tersebut sudah terpatri sejak dini, diperkuat dengan bagaimana media hiburan yang kita konsumsi menggambarkan seperti itu. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, serta kemunculan emansipasi wanita, membuka ruang karir, bisnis, dan kreasi bagi para perempuan di negeri ini.

Peran perempuan tidak lagi terlimitasi seperti dulu, di mana saat ini perempuan dapat bersuara di pemerintahan, menjadi pendiri perusahaan, pekerja, bahkan supir Transjakarta atau kendaraan online sekalipun. 

Ternyata, kemerdekaan opsi bagi peran perempuan tidak dirayakan seluruhnya. Masih banyak (ironisnya) perempuan yang merasa tidak aman jika berkarir, tepatnya, dengan pandangan orang lain. Tidak dipungkiri, anggapan-anggapan bernada seperti "ngapain sekolah tinggi-tinggi, cewe harusnya di rumah aja", "nggak usah ambisi kejar karir, prioritas wanita adalah menjaga keluarga" dan sebagainya adalah hal yang masih familiar terjadi. 

Perdebatan seputar apakah perempuan sebaiknya menjadi ibu rumah tangga saja atau mengejar karir juga merupakan polemik besar yang kerap terjadi, meskipun biasanya pemikiran ini terjadi secara internal, namun tidak sedikit juga karena dipengaruhi faktor sosial dan anggapan-anggapan bahwa perempuan harus memilih salah satu peran, bahwa selayaknya perempuan harus 'begini' agar tidak 'begitu', menurut anggapan sekitarnya. 

Hemat saya, beban moral ini layaknya tidak harus ditanggung perempuan mana pun. Perempuan (layaknya laki-laki pun, sebagai sesama manusia), berhak untuk mengejar apa pun yang mereka mau. 

Saya percaya, perempuan mampu bermain peran ganda. Perempuan dapat menjadi Ibu, Istri, sekaligus Manager sebuah perusahaan dalam satu jiwa raga yang sama. Perempuan dapat memasak, mengurus keluarga, dan mengerjakan tanggung jawab pekerjaannya tanpa perlu memilih mengorbankan salah satunya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline