Sudah jadi hal yang lumrah rasanya jika tiap kali hendak membaca berita, kita akan disuguhkan dengan deretan iklan yang memenuhi layar. Dalam satu laman berita di suatu media massa daring mainstream, iklan-iklan di letakkan di atas, di bawah, serta samping kanan dan kiri berita. Mulai dari iklan baju, pinjaman online, mobil bekas, hingga iklan rokok, semua tersedia dalam satu laman yang menyisakan setengah ruang untuk artikel berita.
Kehadiran iklan-iklan kemudian dinormalisasi khalayak dengan dalih sumber pemasukan bagi perusahaan media massa. Makin banyak laman berita yang dikunjungi, makin banyak pula iklan yang dilihat, sehingga dana yang masuk kepada media massa melalui adsense-pun makin banyak. Hal ini seakan mengingatkan bahwa berita serta informasi yang dapat kita akses dengan mudah tanpa merogoh kocek pun sesungguhnya tidak benar-benar "gratis". Ada harga yang perlu dibayar khalayak ketika mengakses berita online, yaitu waktu yang dihabiskan untuk mengakses dan menatap iklan-iklan pada laman tersebut.
Dengan memberikan sebagian dari waktu luang kita untuk mengeklik dan berselancar ada dunia digital, sebetulnya kita telah berkontribusi dalam memperkaya perusahaan media. Hal ini selaras dengan kajian oleh Dallas Smythe (1977) yang menerangkan bahwa khalayak merupakan komoditas utama sebuah media massa. Smythe menjelaskan bahwa media massa dibentuk dari sebuah proses di mana perusahaan media memproduksi audiens melalui konten-kontennya dan kemudian mengirimkan audiens tersebut kepada pengiklan. Oleh karena itu, media massa akan berlomba-lomba untuk membuat program dan konten yang menarik khalayak luas.
Kehadiran internet dan media sosial tidak hanya memberi "rumah" baru bagi media massa, tetapi juga meningkatkan persaingan antar media. Media massa dipaksa beradaptasi dan berinovasi sekreatif mungkin agar tetap menjadi pilihan khalayak dalam mencari informasi. Apabila media massa tak mampu mengikut perkembangan zaman serta tren dalam masyarakat, bukan tidak mungkin media tersebut akan gulung tikar pada akhirnya.
Korbankan Kredibilitas Demi Pageviews
Sebagai negara dengan jumlah pengguna internet yang mencapai 210 juta jiwa, Indonesia menjadi ladang yang menjanjikan bagi pengiklan menjajakan produk atau jasanya. Media massa pun bersaing, siapa yang paling banyak dapat menggaet khalayak ke laman beritanya. Berbagai cara dilakukan media massa untuk membuat medianya relevan, seperti memproduksi konten dalam berbagai format, mengulas hal-hal viral nirfaedah, hingga membuat berita dengan judul clickbait.
Media massa di Indonesia tampaknya tak segan untuk menurunkan tingkat kredibilitas medianya dengan menggunakan judul berita tajuk utama yang sensasional. Judul-judul pada pemberitaan di media massa daring sering kali dibuat melebih-lebihkan fakta dan tidak sesuai dengan isi berita. Melanggengkan budaya umpan klik pada judul-judul pemberitaan tidak bisa dibenarkan, sekalipun dilatarbelakangi alasan ekonomi. Pasalnya, judul-judul yang mengandung umpan klik berpotensi menjadi penyebaran berita bohong yang dapat membahayakan masyarakat
Penggunaan clickbait yang berpotensi pada penyebaran berita palsu pada dasarnya adalah bentuk praktik yang menyalahi esensi dari pemberitaan. Sudah sepantasnya jurnalis dan media massa memahami berita sebagai gabungan fakta dari peristiwa, bukan sematan kata-kata nyeleneh demi menarik khalayak. Selain itu, clickbait yang kerap dilebih-lebih kan juga bentuk ketidakhormatan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Keakuratan berita yang disinggung KEJ pasal 1 berita sudah semestinya dijunjung tinggi jurnalis serta media massa.
Sesuai dengan teori milik Smythe, hal ini membuat kita, para pembaca, menjadi objek komodifikasi oleh media massa. Vincent Mosco menjelaskan hal yang serupa pada teorinya the commodification of audience. Menurut Mosco, komodifikasi khalayak berarti modifikasi peran pembaca/khalayak oleh perusahaan media dan pihak pengiklan. Komodifikasi yang berlebihan ini kemudian mengubah pembaca menjadi buruh digital yang kerap "ditipu" dengan judul-judul clickbait, semata-mata agar berkunjung ke laman berita.
Alih-alih berperan dalam mencerdaskan pembaca, media massa seakan memanfaatkan rendahnya literasi media digital masyarakat Indonesia. Secara sederhana, penggunaan judul dengan umpan klik bertujuan untuk menggiring khalayak mengeklik pemberitaan tersebut, sehingga dapat meningkatkan jumlah pageviews laman berita. Peningkatan jumlah pageviews akan menarik pengiklan untuk memasang iklan mereka pada laman berita media massa dan menambah pemasukan perusahaan.
Jurnalis dan media massa, terutama media massa online, sudah sepantasnya lebih menghormati pekerjaan dan kredibilitas media massanya. Ketimbang menggunakan judul-judul sensasional, seksis, dan berbeda jauh dari isi pemberitaan, bukankah lebih baik jika media massa serta jurnalis bekerja sama dalam menciptakan konten informatif, inovatif, dan mencerdaskan bangsa?