"Macam buku keluaran muda-mudi senja, indie, apalah itu,"
Adalah hal yang terlintas dalam benak saya saat pertama kali melihat buku ini di jejeran karya Andrea Hirata, berdampingan dengan Orang-orang Biasa, Sirkus Pohon, dan Guru Aini.
Ketiga buku itu sudah saya baca dan karsa khas buku karangan Andrea Hirata masih kental terasa ketika saya ikut menelusuri kisah tokoh-tokohnya.
Sesuatu yang menurut saya tak lekang oleh waktu, membawa banyak kenangan kala pertama tenggelam dalam cerita Ikal, Lintang, dan kawan-kawan Belitungnya.
Buku Besar Peminum Kopi bukan tentang senja, kopi, musik indie, atau pun puisi-puisi yang entah mengapa kerap salahkan semesta dalam bait-baitnya. Buku Besar Peminum Kopi adalah sebenar-benarnya buku yang Ikaludin garap kala menjaga kedai kopi milik Pamannya di Desa Ketumbi.
Kedai kopi itu mempertemukan Ikaludin dengan beragam insan unik di desa terpencil itu. Sebab di kedai kopi lah seluruh warga berkumpul dan lepas penat tiap sore.
Meminum kopi di Desa Ketumbi bukan sekedar persoalan menahan kantuk, melainkan sebenar-benarnya budaya mengakar pada masyarakat setempat. Akan tetapi, jangan samakan dengan budaya minum es kopi susu---yang kopinya nyaris tak terasa---dengan harga selangit mu itu.
Buku Besar Peminum Kopi bukan tipikal buku dengan satu plot besar, super mendebarkan, dan penuh konflik amat rumit. Ceritanya ringan, penuh gambaran detail tentang budaya masyarakat Desa Ketumbi, Bangka Belitung.
Hal yang selalu saya suka dari karya Andrea Hirata adalah bagaimana beliau menggambarkan tokoh-tokohnya. Mereka jarang sekali digambarkan sebagai sosok rupawan nan sempurna, sehingga bagi saya terasa amat nyata. Begitu nyata, hingga rasanya dapat saya dengar suara dengan logat khas Belitung saat tokoh-tokoh itu tengah berdialog.
Dalam buku ini dikisahkan si Nong, pendulang timah perempuan pertama serta pecatur perempuan pertama di Desa Ketumbi. Bagaimana Ia berakhir mendulang timah hingga masa senjanya? Bukankah itu sebenar-benarnya pekerjaan yang umum dikerjakan lelaki? Usah ku ceritakan dengan detail, sebab sungguh sedih jika ku ingat nasib si Nong. Jelasnya, jika menggunakan istilah para "ahli" di Twitter, Nong ini sebenar-benarnya contoh sandwich generation.
Dikisahkan pula si Selamot, wanita yang sedari muda hingga renta sibuk habiskan waktu menunggu sang suami yang tak pulang. Suaminya yang seorang pelaut hanya pulang beberapa bulan sekali. Sampai kemudian, sang suami tak datang sama sekali. Malang betul nasib Selamot.