Lihat ke Halaman Asli

"All-Male Panel": Bukti Dunia Belum Inklusif dan Setara Gender

Diperbarui: 23 Maret 2021   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan keputusan bersama yang hanya diisi oleh panelis laki-laki

Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia, berbagai acara dan kegiatan banyak dialihkan ke bentuk daring (online), termasuk seminar. Sebelum pandemi, seminar-seminar biasa diadakan secara tatap muka dengan jangkauan peserta yang terbatas. Namun sejak pandemi, istilah webinar yang merupakan akronim dari web seminar ini semakin populer karena menjadi alternatif terbaik dalam melaksanakan seminar di masa pandemi. Selain dapat mencegah penyebaran Covid-19 karena diadakan secara daring sehingga mengurangi mobilitas dan tidak menimbulkan kerumunan, jangkauan peserta pun semakin luas karena peserta dapat mengakses webinar di mana saja menggunakan berbagai aplikasi konferensi daring.

Kita semakin memiliki banyak opsi webinar dengan berbagai topik dan narasumber. Sebelum webinar marak, seringkali keinginan kita untuk mengikuti seminar dari narasumber-narasumber yang kita kagumi atau topik-topik yang menarik minat kita belum tercapai karena berbagai kendala, terutama jarak. Setelah webinar semakin marak, kendala tersebut dapat kita temui jalan keluarnya berkat teknologi yang ada.

Namun, pernahkah Anda memperhatikan komposisi narasumber suatu webinar? Pernahkah Anda menemui webinar yang menghadirkan lebih dari satu narasumber dan semuanya laki-laki? Bahkan moderatornya pun juga laki-laki, padahal topik webinarnya adalah topik yang menyangkut kepentingan umum sehingga membutuhkan keterwakilan dari berbagai pihak, termasuk perempuan. Hal inilah yang disebut sebagai fenomena all-male panel, di mana semua panel diskusi adalah laki-laki.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi dalam webinar saja, namun sudah marak dalam diskusi-diskusi lainnya. Contoh yang pernah penulis lihat adalah kegiatan Keputusan Bersama Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 pada 20 November 2020. Kegiatan tersebut hanya melibatkan Menko PMK, Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Mendagri, dan Kepala BNPB yang semuanya adalah laki-laki, padahal Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga adalah perempuan yang seharusnya juga dilibatkan karena keputusan tersebut menyangkut kepentingan anak dan kehadiran Bintang Puspayoga dapat mewakili perempuan dalam forum. 

Fenomena all-male panel bukanlah sesuatu yang sepele. Ini sangat erat kaitannya dengan kesetaraan gender yang dapat mewujudkan dunia yang inklusif. Kesetaraan gender sendiri menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka yang bersifat kodrati. Selain merupakan salah satu tujuan dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948, kesetaraan gender juga menjadi 1 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, tepatnya pada tujuan kelima. Indonesia telah mengesahkan SDGs pada 25 September 2015.

KBBI Edisi V mengartikan inklusif sebagai sesuatu yang bersifat inklusi, di mana dalam KBBI V inklusi diartikan sebagai ketercakupan. Dalam hal ini, penulis mengartikan dunia yang inklusif sebagai keadaan di mana tidak ada lagi diskriminasi, terutama bagi perempuan. Lebih spesifik lagi dalam hal ini adalah mengenai keterlibatan perempuan, di mana dunia yang inklusif berarti perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Jadi, dunia yang inklusif berkaitan erat dengan kesetaraan gender karena sama-sama mengusung konsep keterlibatan atau ketercakupan tanpa diskriminasi.

Pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menetapkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). Konvensi ini dianggap sebagai piagam hak internasional untuk perempuan. Indonesia menandatangani CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

Pasal 1 CEDAW mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang  politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Mengusung sub-tema "Menciptakan Dunia yang Inklusif dan Setara Gender", melalui esai ini penulis ingin menjabarkan mengapa fenomena all-male panel merupakan salah satu bukti bahwa dunia belum inklusif dan belum setara gender.

Tidak Sesuai dengan Tujuan dan Ketentuan CEDAW

Pasal 3 CEDAW mengamanatkan negara-negara peserta untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan sepenuhnya dengan tuiuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki melalui pembuatan peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Kemudian, Pasal 10 CEDAW mewajibkan negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline