Lihat ke Halaman Asli

Program Makan Bergizi Gratis: Pihak Mana yang Diuntungkan?

Diperbarui: 27 Oktober 2024   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Freepik.com

Program Makan Bergizi (MBG) yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran bertujuan menjangkau 82,9 juta penerima di seluruh Indonesia dan melibatkan UMKM serta pengusaha lokal (tirto.id, 17/10/2024). 

Meskipun tampak menjanjikan, pelibatan pihak swasta dan potensi ketimpangan justru memunculkan tanda-tanda bahwa program ini akan lebih menguntungkan perusahaan besar daripada benar-benar mengatasi masalah gizi masyarakat. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyebut keterlibatan swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai langkah yang diperlukan mengingat besarnya cakupan program tersebut. Namun, ini justru menimbulkan keraguan terkait efektivitas dan pemerataan kualitas program.  

Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menambahkan bahwa 46 perusahaan dalam dan luar negeri telah berkomitmen menyediakan 1,3 juta ekor sapi untuk mendukung kebutuhan susu dan daging dalam MBG (Tirto.id, 17/10/2024). 

Namun, keterlibatan korporasi besar memunculkan kekhawatiran bahwa keuntungan program akan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan pemasok daripada masyarakat. 

Dalam konteks kapitalisme, upah pekerja dan biaya produksi cenderung ditekan demi keuntungan maksimal, sehingga kesejahteraan buruh dan rakyat seringkali terabaikan. Selain itu, besarnya dana yang digelontorkan untuk MBG membuka peluang terjadinya korupsi oleh pejabat yang terlibat, sebagaimana kerap terjadi dalam sistem demokrasi kapitalistik.  

Kapitalisme memang cenderung menempatkan tanggung jawab kesejahteraan pada mekanisme pasar dan pihak swasta, sedangkan negara hanya berperan sebagai fasilitator. UU Cipta Kerja, misalnya, memperlihatkan keberpihakan kepada korporasi dengan mempermudah akses mereka untuk mendapatkan keuntungan. 

Program-program sosial seperti MBG tidak lebih dari solusi tambal sulam atas persoalan mendasar yang tidak terselesaikan, yaitu kegagalan negara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Pada akhirnya, program semacam ini hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat luas masih terjebak dalam ketidakpastian ekonomi dan rendahnya akses pangan bergizi.  

Berbeda dengan kapitalisme, Islam menawarkan solusi yang komprehensif melalui penerapan sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan individu. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh sebagai ra'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. 

Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu, termasuk pangan, sandang, dan perumahan, serta menyediakan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan peran ini, negara tidak memerlukan program khusus seperti MBG karena kebijakan ekonomi dan sosial Islam sudah memastikan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa terkecuali.  

Distribusi sumber daya dalam negara Islam juga diatur dengan adil. Sumber daya alam yang melimpah menjadi milik publik dan dikelola langsung oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta. Aset strategis seperti air, lahan, hutan, dan energi digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik. 

Pengelolaan ini dilakukan dengan prinsip-prinsip syariat yang memastikan transparansi dan keberlanjutan. Infrastruktur penting seperti jalan, fasilitas komunikasi, sekolah, dan rumah sakit juga berada di bawah kendali negara agar layanan masyarakat dapat berjalan optimal.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline