Baru-baru ini penghargaan bergengsi bagi mereka yang telah berkontribusi luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, hingga perdamaian yaitu Nobel telah mengumumkan beberapa tokoh yang akan menerima penghargaan tersebut.
Dari nama tokoh-tokoh yang disebutkan, terdapat beberapa nama yang menarik perhatian masyarakat di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah pemenang Nobel Ekonomi 2024 yang diberikan kepada ketiga akademisi asal Amerika Serikat yaitu Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson.
Ketiganya mendapatkan penghargaan nobel di bidang ekonomi berkat sumbangsih pemikiran dan penelitian mereka tentang bagaimana suatu lembaga-lembaga yang dibentuk dapat memberikan dampak terhadap kemakmuran. Hasil penelitian mereka juga berperan penting dalam mewujudukan keberhasilan perekonomian suatu negara.
Lebih lanjut lagi, pemikiran ini tertuang dalam buku yang berjudul "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty" karya dari Acemoglu dan Robinson yang diterbitkan pada tahun 2012 lalu. Buku ini menjelaskan mengapa beberapa negara menjadi makmur dan sementara negara lain tetap miskin dan gagal berkembang.
Dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson mengemukakan penolakan terkait argumen tradisional tentang mengapa suatu negara gagal dalam menciptakan kemakmuran. Terdapat tiga argumen tradisional yang mereka kritik; letak geografis, nilai-nilai budaya, dan ketidaktahuan pemimpin.
Teori tradisional soal letak geografis dan iklim dianggap menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu negara. Namun, mereka menolak argumen tersebut dan berpendapat bahwa kondisi geografis suatu negara tidak selalu menentukan nasib ekonomi. Misalnya saja Singapura dan Botswana yang memiliki lokasi geografis yang tidak ideal tetapi dapat berkembang dengan pesat.
Pandangan selanjutnya yaitu soal keterkaitan antara kemakmuran dan nilai-nilai budaya tertentu. Misalnya negara dengan budaya protestan dianggap lebih maju karena ajaran protestan yang mendorong etos kerja dan akumulasi kekayaan. Dan sebaliknya, terdapat beberapa budaya yang dianggap mendorong kemalasan dan konsumsi berlebih sehingga mengambat perkembangan ekonomi.
Mereka menolak teori ini sebagai reduksionis dan stereotipikal. Artinya, teori ini menyederhanakan secara berlebihan dan melabeli masyarakat tertentu dengan cara yang tidak adil. Contohnya saja ketika Jepang dan China yang dulu dianggap memiliki budaya feodal dan konservatif, tetapi akhirnya berhasil menjadi kekuatan ekonomi setelah reformasi politik dan ekonomi.
Terakhir, ada teori ketidaktahuan pemimpin atau ignorance hypothesis. Di mana teori ini menyatakan bahwa negara menjadi miskin dan tidak makmur karena pemimpinnya tidak tahu bagaimana membuat kebijakan ekonomi yang baik. Kesalahan kebijakan ini akhirnya menciptakan korupsi, proteksionisme, hingga pengeluaran yang tidak efisien yang dianggap sebagai alasan utama dari kegagalan suatu negara.
Menurut Acemoglu dan Robinson, permasalahan utama dari hal ini bukan karena 'ketidaktahuan' tetapi justru terdapat alasan dibalik itu yaitu kepentingan elit yang ingin mempertahankan kekuasaannya.