Generasi muda tak henti-hentinya selalu membawa sebuah trend dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Mulai dari fashion, produk perawatan wajah, hingga makanan dan minuman yang tak luput dari trend anak muda masa kini.
Ini juga yang membuat apapun produk yang memiliki keunikan dan kemudian dilempar ke pasar dengan target anak muda, maka produk tersebut bisa dengan cepat berkembang pesat atau biasa kita kenal dengan kata "viral".
Saat ini banyak generasi muda yang mengaitkan sebuah gaya hidup tertentu sebagai sebuah trend dan bahkan menjadikannya sebuah simbol dari kesuksesan mereka.
Misalnya, apabila menggunakan smartphone model A atau ketika mengenakan brand B maka ia akan dianggap sudah berada pada level teratas dari kehidupan bermasyarakat khususnya kaum muda.
Gaya hidup ini yang kemudian akan berhubungan dengan perilaku dari generasi muda dalam mengalokasikan uangnya. Muncul sebuah dilema, mengikuti trend yang terjadi atau bijaksana dalam mengeluarkan uang.
Tak banyak anak muda yang lebih memilih bijaksana dalam mengeluarkan uangnya dan lebih lebih memilih untuk ikut dalam trend yang ada agar bisa diakui oleh lingkungan.
David Bach dalam bukunya yang berjudul "Latte Factor: Why Don't Have to Be Rich to Live Rich" menggunakan istilah "latte factor" untuk menggambarkan bagaimana perilaku seseorang dalam pengeluarannya untuk kopi dalam setiap hari.
Perumpamaan ini digunakan David agar setiap orang yang tidak mengerti masalah keuangan dapat lebih mengerti dengan mudah dan bisa memulai investasi tanpa memikirkan tidak memiliki uang lebih.
Segelas kopi bagi sebagian orang adalah sebuah pengeluaran yang kecil. Bahkan pengeluaran untuk segelas minuman ini dianggap "recehan" yang tidak mungkin dapat berpengaruh signifikan pada keuangan pribadi seseorang.
Namun ini yang menjadi poin penting dari David, bagaimana kita dapat memiliki kesadaran tentang mengelola uang yang kita hasilkan dari bekerja dengan bijaksana bahkan dari hal yang kecil.