Lihat ke Halaman Asli

I’m a Shopaholic (Wacana Konsumerisme, Hedonisme dan Prostitusi di Media Massa)

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini media massa marak mengekpose pemberitaan tertangkapnya Robby Abbas, mucikari yang menawarkan jasa prostitusi online artis-artis papan atas dan model kepada target segmentasi pengusaha dan pejabat pemerintahan. Rate harga yang dipatok Robby mulai dari 80 juta hingga 200 juta rupiah. Robby mengaku bahwa ia mempunyai 200 list perempuan yang ia pekerjakan dan rentang usia mulai dari 22-30 tahun. Strategi pemasaran online dilakukan melalui BBM dan WA.Praktek prostitusi yang dilakukan oleh artis dan klien di luar negeri dan hotel bintang 5 di jakarta. Pada saat di tahan ia bersama dengan salah satu perempuan bernisial AA yang diduga berprofesi sebagai artis dan model mengaku untuk paket short time 3 jam ia dibayar sejumlah 80 juta rupiah. Dalam waktu sebulan penghasilannya sudah 1,6 miliar.

Pemberitaan tersebut banyak menarik perhatian sejumlah kalangan mulai dari akademisi komunikasi, aktivis perempuan, pihak kepolisian, kalangan selebritis dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri media telah berkontribusi menyajikan isu prostitusi online berkembang. Hal tersebut akibat dari adanya persaingan bisnis media di era industrialisasi. Fakta lainnya keterlibatan artis-artis dan model dalam kasus tersebut adalah persoalan gaya hidup konsumtif dan hedonistik. Tanpa disadari kini media berperan sangat dominan sebagai perangkat gaya hidup konsumtif dan hedonistik. Dimmick dan Rothenbuhler memaparkan bahwa ada tiga perangkat sumber kehidupan bagi media yaitu content, capital, dan audience (Albarran,1996). Content berkaitan dengan isi dari sajian media, misalnya program acara TV, Film, dan sebagainya. Capital bersangkutan dengan sumber dana untuk menghidupi media misalnya iklan, penjualan produk majalah, koran, dan audience terkait dengan segmen yang dituju. Oleh karena itu dapat di pahami bahwa media berfungsi dan berperan demi kepentingan komersial. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan lahan bisnisnya ditengah persaingan ketat. Misalnyafilm sex in the city yang menayangkan kehidupan yang konsumtif pemain film tersebut menggunakan tas, baju, aksesoris, dan sebagai dengan merek mewah tertentu, mengendarai mobil bermerek Ferari, dan sisi hedonsitik seperti gaya hidup makan, hang out, dan berpesta di tempat mewah dan berlibur dengan mengendarai jet atau pesawat pribadi. Atribut-atribut pada film itu diplih dan ditayangkan setelah melakukan perjanjian bisnis dengan pihak sponsor dan pengiklan.

Menurut pemikiranHerbert Marcuse, ahli filsafat dari Jerman, ia berpendapat bahwa masyarakat moden yang konsumtif dan hedonistik tergolong pada golongan masyarakat sakit,. Sakit dalam arti masyarakat tersebut hanya memiliki satu tujuan dalam hidupnya (kesenangan semata) dan berdimensi satu. Ciri-cirinya ditandai dengan sikap reseptif dan pasif akibat dominasi dari kelompok kapitalis sehingga kehilangan prinsip kritisnya (Marcuse,2000). Contoh dalam kehidupan keseharian kita adalah fenomena kompetisi produsen handpone seperti Iphone, samsung, dan blackberry meluncurkan produksinya dengan berbagai feature untuk mengatasi berbagai solusi atas problem teknologi dan kebutuhan. Bagaimana ketiga merek handpohone tersebut beroperasi, apa saja keunggulannya, itulah yang kita temui disekeliling kita.

Analisa penulis terkait kasus diatas pertama, adanya praktek prostitusi online tidak dapat dipungkiri karena dari segi isi media banyak menghadirkan budaya konsumtif dan hedonistik misalnya pada film produksi Holywood, Sex in the city, si aktor/artis tersebut mengenakan baju bermerek, mobil mewah, tinggal di rumah yang megah, dan kebiasaan bersenang-senang. Gaya hidup para aktor/artis Holywood sebagai standarisasi gaya hidup para artis lokal. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah ditindas oleh kelompok kapitalis, dimana mereka secara tidak sadar hanya memikirkan kepuasan diri dan bersenang-senang. Mereka memiliki standarisasi gaya hidup mulai dari berbelanja pakaian, mobil, teknologi, menghabiskan uang untuk sekedar kongkow-kongkow di tempat yang fancy, dan berlibur ke luar negeri. Jalur prostitusi online dianggap sebagai solusi atas persoalan gaya hidup. Kedua, dampak dari idelogi media kapitalis, dimana pada prinsipnya media mencari untung sebanyak-banyak. Disatu sisi media terkesan lupa telah menciptakan masalah baru yaitu jeratan gaya hidup konsumtif dan hedonistik. Media selalu menawarkan sesuatu hal yang terbaru mulai dari baju, teknologi, dan sebagainya. Tentu ini menjadi persoalan yang dilema apa sebetulnya fungsi dan peran media bagi masyarakat. Media lebih banyak menjadi agen kapitalis dan hedonisme dibandingkan menyajikan informasi yang bermanfaat. Kritik penulis diharapkan dapat membuka jalan dalam menjawab persoalan-persoalan sosial seputar wacana hedonisme, konsumtivisme, dan prostitusi online di media massa, perlu sikap bijaksana dan kritis dalam hal memahami isu prostitusi online dan fenomena konsumerisme serta hedonisme di media massa.

Sumber:

thejakartaglobe.beritasatu.com/.../police-get-serio

Albarran, Alan D. 1996.Media Economics: Understanding Markets, Industries, and Concepts. Ames: Iowa State University Press.

Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta Bentang Budaya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline