Lihat ke Halaman Asli

Hb. Sapto Nugroho

Hidup ini adalah Pikink ( Selalu senang dan bersyukur ), sementara tinggal di Tokyo

Trimakasih Atas Semua Penerimaannya

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13315153251956898452

Gempa dan Tsunami di Jepang 11 Maret 2011, merupakan pintu masuk bagi saya untuk mengenal apa yang disebut relawan di tempat bencana.  Namun demikian, menjadi relawan di tempat bencana tidak semudah seperti menolong orang yang jatuh dari naik sepeda.  Pertamakali beberapa orang datang ke lokasi bencana dan menghubungi perwakilan di tempat bencana untuk memperkenalkan group relawan dan menanyakan apa yang bisa dibantu. Relawan perorangan tidak bisa langsung ke tempat bencana, akan tetapi harus melalui pusat atau posko relawan baru kemudian dibagi tempat dan jenis kegiatannya. Kebetulan saya pernah ikut beberapa kali dengan group relawan  Indonesia dari berbagai tempat di Jepang. Daerah yang dituju untuk dibantu yaitu di daerah pengunsian yang bernama Minami-SanrikuCho, profinsi Miyagi ( sebelah utara Fukushima ).  Karena sebagian besar anggota relawan ini tinggal di jepang selatan, maka tempat berkumpul dilakukan di kota yang bernama Tomobe  ( 150 km di sebelah utara Tokyo).  Bantuan ke tempat pengungsian difokuskan degnan menyediakan makanan jadi dan bahan makanan lainnya termasuk sayuran dan buah2an. [caption id="attachment_175918" align="aligncenter" width="650" caption="Saat membagi makan siang di tempat pengungsian ( gedung sekolah )"][/caption] Pertama kali group relawan datang ke pengungsian, maka semua masih tampak canggung, artinya belum terjadi komunikasi dengan pengurus di pengungsian apa lagi dengan penghuni di pengungsian itu.  Kedatangan yang kedua pun masih tidak jauh dari yang pertama, akan tetapi beberapa orang yang tinggal di pengungsian mulai mengajak omong dan beberapa orang sempat berfoto bersama ( kebanyakan ibu2 ). Pada saat kunjungan ketiga ini, secara khusus kami diajak masuk ke salah satu ruangan staff atau pengurus di tempat pengungsian. Kepada kami mereka menanyakan nama makanan Indonesia yang pernah dihidangkan yaitu “bubur ayam” dan“soto”. Dalam pembicaraan di ruangan itu, lalu kami memberitahukan kedatangan kami selanjutnya.Yang mengherankan mereka bertanya : "nanti mau membawa makanan apa?”.  Kami cukup heran juga dengan pertanyaan yang diajukan ini karena kami merasa sudah ada komunikasi yang lebih.  Karena lokasi tempat berkumpul (Tomobe) dan tujuan di pengungsian cukup jauh ( yaitu sekitar 6 jam naik kendaraan lewat jalan toll, atau sekitar 500-600 km), maka direncanakan kunjungan berikutnya kami akan menginap di dekat daerah pengungsian dengan mendirikan beberapa tenda. Dengan sempat bermalam di dekat pengungsian ini maka cukup waktu untuk menyediakan makan siang dan makan malam. Menyiapkan makanan untuk sekitar 300 s/d 500 orang cukup memakan waktu  dan ini yang paling berat dalam kegiatan ini, makanya tidak hanya yang berangkat ke tempat pengungsian tetapi orang2 yang menyiapkan sebelumnya sangatlah penting. Pengalaman ini mengajarkan ke saya bahwa yang disebut relawan bukan hanya orang yang pergi ke tempat bencana, akan tetapi semua orang yang terlibat dalam kegiatan itu.  Ada orang yang memberikan dana, ada orang yang menyiapkan makanan, ada orang yang pergi ke tempat bencana untuk membagikan bantuan atau kegiatan lain.  Kerelaan memberikan apa yang dipunyai, kerelaan memberikan waktu dan tenaga, kerelaan memberikan perhatian, banyak yang bisa kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita masing2.  Semua dilakukan dengan rela, maka sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan "sukaduka" jadi relawan karena semua dilakukan dengan senang/suka. Sadar bahwa kami juga merasa lelah dan capek maka waktu kunjungan tanggal 5 Mei 2011 ( setelah menginap dari tgl 4 Mei ), kami memberitahukan ke pengurus bahwa untuk berikutnya kami belum tahu kapan.  Pengurus sangat memahami ini. Dan yang sangat mengharukan, di luar dugaan kami, waktu kami pulang pengurus mengundang semua penghuni di pengungsian untuk keluar dan mengantar dengan lambaian tangan waktu kami pulang. Beberapa orang dari pengugnsi sempat berfoto bersama.  Mereka semua menyempatkan diri keluar dan melambaikan tangan. Perasaan “diterima” akan membuat suatu pengalaman batin yang mendalam  dan  membuat terharu. Dalam keadaan tidak bisa mengungkapkan kata2, maka kedua lambaian tangan itu seolah berbicara : “trimakasih atas semua penerimaannya". Tips Kecil : Kalau sudah berkeluarga, sebelum memberikan dana atau pergi ke tempat bencana sebaiknya minta ijin dari istri atau suami, juga ke anak2. Ijin atau restu dari keluarga ini sangat penting dan akan memberikan semangat dan kekuatan saat kita melakukan kegiatan.  Kalau anda tidak tahan melihat situasi di tempat bencana, sebaiknya ikut dalam persiapan. Pergi ke tempat bencana membutuhkan suatu jiwa yang kuat artinya tidak boleh menangis di depan para korban atau pengungsi.  Sedapat mungkin tidak bertanya banyak ke korban/pengungsi,  omong seperlunya tentang apa yang kita bawa atau yang kita kerjakan.  Kegiatan ini juga mengeluarkan biaya, oleh karena itu sedapat mungkin ada dana khusus artinya jangan sampai kegiatan relawan ini menganggu ekonomi rumah tangga. Kalau masih bujang, perlu juga memberitahukan atau minta ijin ke orang tua. Dana untuk kegiatan relawan ini sedapat mungkin jangan sampai menganggu keluarga.  Kalau ingin melakukan kegiatan relawan secara rutin, sebaiknya ikut jadi anggota group relawan.  Bantuan terhadap korban bencana besar tidaklah selesai dalam waktu satu atau dua bulan, kadang butuh waktu lebih dari satu tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline