Berhasil lari dari Tsunami dan menyelamatkan diri ke tempat lebih tinggi adalah anugrah kehidupan yang masih diberikan. Akan tetapi anugrah ini disertai dengan suatu keberanian untuk berjuang kembali dan perjuangan ini mungkin lebih berat dari pada perjuangan hidup yang sebelumnya. Itulah yang ada dalam benak saya sewaktu berkunjung langsung ke salah satu tempat pengungsian di Minami Sanrikucho ( provinsi Miyagi ). Saya diajak oleh beberapa teman yang sudah ketiga kalinya mereka datang sebagai relawan dengan menyediakan makan siang untuk semua orang yang ada di tempat pengungsian itu. Terakhir kami datang tanggal 16 April 2011, satu bulan lebih 5 hari dari kejadian gempa dan tsunami tanggal 11 Maret. Menurut beberapa orang yang pengalaman jadi relawan, pengungsi biasanya kalau sudah 2 minggu lebih kemungkinan mengalami stress sangat tinggi, namun demikian juga tergantung dari keadaan kemajuan yang ada di pengungsian. Sedikit kemajuan yang bisa terlihat dan terasa bisa memberikan kegembiraan sendiri dan menghilangkan stress yang ada. Oleh karena itu tidak mengherankan jika beberapa orang terkenal di olah raga atau orang terkenal yang sering muncul di TV mengadakan kunjungan khusus ke beberapa tempat pengungsian. Sebagian besar memang memberikan waktu untuk anak2 yang ada di tempat pengungsian. Selain datangnya "hiburan" yang sesaat, yang lebih penting lagi adalah kemajuan nyata yang ada di tempat pengungsian dan berkaitan dengan hidup selanjutnya. Ada dua tempat yang kami kunjungi untuk menyediakan makan siang, satu di sekolah SMP dan satu lagi di sekolah SMA. Pertama kami ke sekolah SMP. Semua sekolah di jepang (SD,SMP,SMA) , memang di bangun dengan perlengkapan gedung olah raga tertutup ("taiikukan") dan lapangan lebar untuk sepak bola dan lain-lain. Dalam waktu pengungsian maka gedung olah raga tertutup ini dipakai untuk tidur. Memang kami tidak masuk dalam gedung tertutup itu, tapi dari berita di TV yang ada maka dalam gedung tertutup itu dibagi2 tempat untuk tidur per keluarga. Ada yang dibatasi dengan kertas kardus yang agak tinggi, tapi ada juga yang sama sekali tidak dibatasi. [caption id="attachment_103296" align="aligncenter" width="600" caption="Halaman atau lapangan di gedung SMP yang sedang dibangun rumah sementara. Tampak tumpukan kayu bakar dan dapur umum untuk warga yang tinggal di sekolah ini."][/caption] [caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Salah satu tempat pengungsian ( saya ambil dari Yomiuri Online )"][/caption] Di gedung SMP tampak di halaman olah raga sudah mulai dibangun tempat tinggal sementara. Pekerjaan membangun tempat tinggal sementara ini dilakukan oleh bantuan dari pemerintah dan juga dibantu oleh pasukan beladiri (self defence ) yang ditugaskan di tempat itu. Kegiatan mendirikan rumah tinggal sementara ini harus dilakukan karena untuk kembali membangun rumah yang hilang karena tsunami akan sangat memakan waktu yang lama ( tidak bisa dipastikan kapan ). Oleh karena itu dengan melihat rumah semantara ini warga di pengungsian juga sedikit bisa tersenyum meski dalam keadaan tidak pasti kapan bisa kembali dan mendirikan rumah mereka sendiri. Pemerintah jepang memang sudah merencanakan sejumlah penggantian ke warga yang rumahnya hilang, akan tetapi jumlah uang yang diberikan itu mungkin tidak akan bisa untuk membuat kembali rumah mereka seperti semula. Pertama kali kami menyediakan bubur ayam, dan kunjungan ke dua kami menyedian soto ayam. Di hari kunjungan ke tiga ini mereka menanyakan apa menu hari ini, lalu teman saya menjawab : "Tonjiru" ( jenis makanan jepang seperti sup yang berisi daging dan sayuran ). Makanan ini cocok untuk udara yang dingin karena ada kuah panas di dalamnya. Mendengar bahwa yang kami sediakan adalah makanan ala jepang, beberapa orang tampak senang sekali dan tersenyum. Sangat bisa dimengerti bahwa pengungsi akan menerima apa saja yang disediakan, akan tetapi jenis makanan yang mereka sangat kenal dan sudah sebulan ini tidak makan, maka bisa memberika rasa senang tersendiri. Saya dan teman2 saya bisa melihat ekpressi wajah mereka. Pada kunjungan berikutnya direncanakan akan membuat juga jenis makanan jepang. Di sekolah ini gas tidak ada sehingga kami memasak makanan menggunakan kompor gas table yang kami bawa sendiri. Karena kompor gas yang kami bawa kecil, maka agak sedikit lama membuat makan siangnya. Karena listrik dan gas belum ada, maka di lapangan juga dibuat persediaan kayu bakar untuk memasak. Disamping tumpukan kayu bakar ada tenda dapur umum untuk warga yang tinggal di situ. Team relawan Indonesia group teman saya ini hanya hari sabtu saja datang ke tempat ini. Selain hari sabtu ada kemungkinan datang relawan group lain atau ada bantuan makanan dari pemerintah melalui self defense. [caption id="attachment_2" align="aligncenter" width="600" caption="Halaman belakang di gedung SMA yang dipakai untuk buat toilet sementara. Tampak pasukan beladiri dan kendaraan penyedia air bersih."][/caption] Di tempat pengungsian yang bertempat di gedung SMA, tampak peralatan kendaraan dari pasukan bela diri yang menyediakan air bersih, ada beberapa toilet sementara. Waktu kami masuk halaman sekolah, tampak ada beberapa anak sedang bermain sepak bola, rupanya kegiatan sekolah di sini sudah dimulai meski dalam keadaan darurat, yaitu sekolah dan pengungsi jadi satu. Di samping gitu juga ada generator listrik, sehingga bisa menyalakan beberapa lampu kecil untuk di dalam gedung olah raga di mana pengungsi tidur. Di gedung SMA ini sudah ada dapur di dalam gedung dan ada kompor gas di dalamnya. Oleh karena itu pengurus di pengungsian itu menawarkan kami untuk menggunakan kompor gas mereka yang agak besar. Kebetulan staff yang mengurus makan ini ada dua orang yang sudah biasa masak ( kakak dan adik ). Mereka dulu punya warung makan. Maka begitu mereka tahu bahwa kami mau buat "Tonjiru", mereka langsung menyediakan diri membantu karena mereka memang bisa membuat sendiri ( mungkin lebih pintar dari pada kami yang orang indonesia ). Akhirnya proses memasak di gedung SMA ini diambil alih oleh pengurus disitu, jadi kami hanya menyediakan bahan2 yang kami bawa. Sambil menunggu memasak, kami sempat duduk bersama di dapur sekolah itu. Mereka sangat senang sekali karena minggu depan ada kemungkinan listrik menyala di sekolah itu. Dengan listrik bisa menyala maka banyak aktifitas bisa berjalan. Tampak senyum dan kegembiraan di wajah mereka. Dalam area lapangan sekolah SMA ini memang tidak tampak rumah sementara yang dibangun, sempat kami tanyakan juga ke mereka. Mereka memang belum tahu rencana tentang rumah sementara itu. Mereka sangat sadar bahwa masih lama harus mengungsi dengan keadaan seperti ini, tapi dengan hidupnya listrik merupakan suatu hal yang membuat mereka bisa senang dan tersenyum ( meski mereka sendiri belum tahu kapan bisa kembali ke rumah mereka, mengingat keadaan kerusakan memang luar biasa - lihat posting saya sebelumnya di http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/04/19/puing-puing-itu-benar-ada-dan-sangat-banyak/). Senyuman dan kegembiraan terungkap juga sewaktu mereka tahu bahwa rencana makanan berikutnya adalah makanan jepang kembali. Begitu cerita ketiga dari pengalaman saya ikut dalam rombongan relawan indonesia, trimakasih untuk teman yang sudah mengajak sehingga saya bisa berbagi cerita ke banyak orang. Semoga kita juga bisa tersenyum dan bisa membuat orang lain bisa tersenyum dengan apa yang kita bisa. Sampai ketemu di tulisan ke empat. [caption id="attachment_3" align="aligncenter" width="600" caption="Halaman dan gedung SMA yang dipakai untuk tempat pengungsian. Tampak beberapa anak sedang bermain sepakbola"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H