Indonesia terkenal kaya akan sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Termasuk dalam kelompok yang tidak dapat diperbaharui adalah bahan tambang.
Bahan tambang adalah sumber daya alam yang berasal dari dalam perut bumi yang bersifat tidak dapat diperbaharui karena pembentukannya membutuhkan waktu yang lama hingga berjuta-juta tahun. Sedangkan usaha pemanfaatan sumber daya alam berupa bahan-bahan galian yang terkandung di dalam perut bumi dikenal dengan istilah pertambangan.
Saat ini, pemanfaatan bahan tambang tidak bisa lepas dalam kehidupan kita. Mulai dari rumah tinggal kita, yang dibangun dengan menggunakan material seperti besi, semen, maupun pasir. Dapur kita yang hampir semua alat masaknya menggunakan bahan dari logam, peralatan makan yang kita pakai, bahan bakar gas yang kita gunakan, kabel yang menghantarkan listrik sampai ke rumah kita, itu semua berasal dari bahan tambang. Tidak dapat dipungkiri bahwa penemuan tentang bahan tambang telah membawa peradaban kehidupan manusia menjadi lebih maju dan mudah.
Jika kita menengok catatan sejarah peradaban kehidupan manusia di periode jaman batu, seperti itulah kira-kira yang terjadi dengan kehidupan kita sekarang jika bahan tambang tidak pernah diketemukan. Tidak ada pisau tajam yang membantu kita memotong-motong daging, tidak ada blender atau chopper yang sekali pencet semua bahan makanan yang kita masukkan ke dalamnya tergiling halus sempurna. Berbagai kemudahan-kemudahan yang biasa kita dapatkan menjadi hilang.
Di desa saya, kalau ada orang yang ditanya kerja di mana dan jawabnya adalah di perusahaan pertambangan, sudah bisa dipastikan posisi atau kedudukannya di masyarakat menjadi berbeda, lebih terpandang. Ya, kerja di pertambangan itu identik dengan kemapanan dan kecukupan finansial. Meskipun jarang berada di rumah, namun pundi-pundi rupiah mengalir deras, yang ditunjukkan dengan bangunan rumah yang berdiri megah dan mobil pribadi yang bertengger gagah. Paling tidak itu yang terlihat dari beberapa tetangga dan saudara yang kebetulan bekerja di perusahaan tambang.
Barang olahan tambang simbol kesejahteraan dan kemakmuran (sumber gambar : blog.duitpintar.com)
Bahkan masih melekat dalam ingatan sewaktu saya kecil dulu, sekitar tahun 1983-an, Bude saya yang pekerjaannya tidak berhubungan langsung dengan tambang, tapi bekerja di lingkungan pertambang pun terlihat lebih sejahtera di banding Ibu saya yang juga berprofesi yang sama tapi bekerja di desa. Ibu dan Bude saya sama-sama guru. Bedanya ibu saya guru di sebuah SD swasta di salah satu wilayah di kota Jogja, sementara bude saya guru SD di sebuah sekolah swasta di lokasi tambang emas Cikotok, yang saat itu tengah berjaya. Setiap kali pulang ke kampung mengunjungi nenek, bude selalu membawa buah tangan yang banyak. Pakaian para sepupu saya juga terlihat bagus-bagus, dan konon Bude saya punya tabungan emas batangan yang banyak jumlahnya...sehingga terekam kuat dalam benak saya, tambang identik dengan kemapanan dan kesejahteraan.
Pertambangan di Masa Kolonial
Namun sesungguhnya tidak semua yang berbau tambang itu tentang cerita manis. Banyak kisah miris juga yang melingkupi sejarah tambang di Indonesia. Salah satu contohnya adalah cerita tentang manusia rantai di tambang batubara Sawah Lunto Sumatera Barat di jaman kolonial dulu. Pekerja tambang pada masa kolonial,tidak lebih seperti sapi perahan yang dimanfaatkan tenaganya. Berbagai perlakuan tidak manusiawi sering mereka terima, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Sungguh ironis.
Sejarah mencatat, bahwa kebijakan penambangan pada masa kolonial dulu benar-benar hanya menempatkan bangsa kita sebagai kuli, tidak lebih. Bahkan saking ingin menutup kesadaran bangsa ini akan potensi kekayaan bumi yang dimiliki, seorang anak negeri bernama Arie Frederic Lasut seorang ahli geologi dan pertambangan pribumi pada masa awal kemerdekaan dulu pun akhirnya dibunuh dengan cara ditembak karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Begitu besar potensi tambang di negara kita, hingga bangsa lainpun berebut ingin memilikinya.
Arie Frederic Lasut adalah pegawai muda di Dinas Pertambangan Belanda yang bernama Mijnwezen, yang pada masa pendudukan Jepang diubah namanya menjadi Chisitsu Chosasho. Pada hari Jumat pukuI 11.00 WIB tanggal 28 September 1945, A.F. Lasut bersama 3 orang temannya yakni Raden Ali Tirtosoewirjo, R. Soenoe Soemosoesastro dan Sjamsoe M. Bahroem mengambil alih secara paksa kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang, dan sejak saat itu nama Chisitsu Chosasho diubah menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi. Hari dimana A.F. Lasut dan kawan-kawan merebut Chisitsu Chosasho ditetapkan sebagai hari pertambangan Indonesia.