Lihat ke Halaman Asli

Sapta Arif

Penulis

Cerpen | Jangan Pernah Meninggalkan Seorang Perempuan Dalam Kesepian

Diperbarui: 5 Maret 2018   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan adalah kota yang sepi, tetapi tidak mati. Ia memiliki banyak persimpangan, mobil tua yang kadang terparkir rapi, tidak jarang pula sembarangan di sudut-sudut jalan. Gedung-gedung yang menjulur tinggi, pemukiman, jalan yang lengang, lampu merah hijau di perempatan, sangat sepi. Namun tidak mati. Dia hanya menunggu, seseorang tinggal di dalamnya. Maka jangan heran, aku seringkali berpesan pada Watson: jangan pernah meninggalkan seorang perempuan dalam kesepian.

Namun watson menganggapnya sebagai angin lalu. Pekerjaan seringkali menuntutnya untuk bepergian keluar kota, menjelajahi banyak negara, bahkan membuatnya kesulitan mencari waktu untuk keluarga. Tidak gampang memang mengatur jadwal sarapan pagi bersama anak dan istri sedangkan di ponselmu belasan panggilan tak dijawab.

Watson memilih pekerjaan ini lantaran impiannya sejak remaja. Watson remaja sangat suka memecahkan teka-teki, menebak-nebak pembunuh dalam film misteri, hingga mengungkap beberapa masalah yang dianggap tidak wajar oleh gurunya di sekolah. Watson kerapkali mencuri waktu tidur malam untuk ikut ayahnya menjelajah kota. Tentu saja Ibunya tak tahu kala itu. Dengan berbekal nilai A di pelajaran matematika dan segudang prestasi olahraga, Watson remaja akhirnya mendapat izin ketika meminta ikut bertugas dengan ayah, meskipun masih di dalam kota.

Namun, Natal kali ini bukan menjadi waktu yang baik bagi Watson. Sebuah kasus pembunuhan berantai memaksanya harus meninggalkan keluarga dua hari sebelum perayaan natal. Senja yang basah di Pemakaman Baker Street.

"Pembunuhan hanya berselang dua hari pasca meninggalnya Tuan Modric." Ucap John.

"Data olah TKP?"

"Sudah saya dapatkan."

***

Natal yang kelam bagi keluarga Ny. Hudson. Setelah suaminya meninggal, dua pekan kemudian, dua putrinya dibunuh secara beruntun. Pembunuhannya pun melakukannya dengan cara yang sama. Yang pertama Emily---anak sulungnya, mati dibunuh dengan keadaan kehabisan oksigen di dalam lemari, sepekan pasca pemakaman ayahnya. Lehernya dijerat tali yang begitu kencang. Tidak berbeda dengan Emily, sepekan setelah pemakamannya, Rose mati dijerat lehernya pula, di dalam kamar.

Tiga ritual pemakaman sebelum lonceng natal dibunyikan. Kini rumah Ny. Hudson dikawal oleh petugas kepolisian. Dua putrinya dijaga ketat. Tiga kelompok detektif berkali-kali secara bergantian mendatangi rumah itu, dalam sepekan. Natal yang kelam di sisa usia Ny. Hudson.

Tiga hari setelah natal, rumah itu masih ramai. Polisi dan detektif masih bersiaga lantaran mengantisipasi dua pola pembunuhan sebelumnya. Orang-orang mulai dibatasi datang ke rumah itu. Awalnya wartawan di tahan, selanjutnya setiap tamu yang datang wajib lapor pada polisi yang berjaga. Hingga pada akhirnya, jam malam pun mulai diberlakukan di rumah itu. Hal ini merupakan permintaan Ny. Hudson untuk menjaga yang tersisa di keluarganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline