Lihat ke Halaman Asli

Sapta Arif

Penulis

Renjana

Diperbarui: 2 Maret 2018   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: ink.imalone.us

 

"Jika Dewi Shinta lebih dulu bertemu Rahwana, akankah dia tetap mencintai Rama, ketika mereka dipertemukan? Mungkinkah jika ia malah mencintai Rahwana? Bukankah Shinta sosok yang ditakdirkan untuk setia?"

Barangkali cinta akan lebih indah ketika tidak diungkapkan. Sekedar dinikmati sendiri. Senang sendiri. Sedih sendiri. Bahkan menikmati rindu sendirian. Bukankah menikmati kesendirian lebih baik, dari pada membunuh kebahagiaan orang lain. Namun apakah Tuhan sudah memikirkan soal keadilan ketika menciptakan cinta. Maksudku, apakah ada keadilan ketika kita bicara soal cinta. Ataukah cinta memang hanya butuh rasa saling suka, dan tentu saja nafsu belaka.

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berlarian di atas kepalaku, Shinta. Setidaknya jawaban itu belum pernah aku temui sampai senja ini. Ketika aku bisa duduk bersanding denganmu, di senja yang merah. Senja yang tidak biasanya. Ada sedikit bau anyir darah di senja kita.

Shinta, menatap senja sama halnya mengenang masa lalu kita. Suatu sore yang basah, masih dengan senja yang sama tepat sepuluh tahun yang lalu. Kau menemuiku di kedai yang sama, dengan aroma kopi yang selalu menggoda. Tentunya kupilihkan tempat di samping jendela agar kita lebih leluasa menikmati senja. Seperti hari-hari sebelumnya secangkir cappuccino dan beberapa potong tiramisu. 

Kala itu kita masih malu-malu untuk mengakui tentang cinta. Kau pun masih seperti hari-hari sebelumnya dengan rambutmu yang tergerai. Lalu sinar wajah yang alami tanpa sapuan make up,namun begitu memesona untuk dilihat oleh puluhan pasang mata yang ada di kedai kala itu. Lalu kau menghampiriku, meski agak terlambat sepuluh menit dari waktu kita.

Namun Shinta, ada yang berbeda darimu sore itu. Bukan dari gaun merah yang kau kenakan kala itu. Bukan pula tumpukan amplop yang kau bawa di cangkingan tasmu. Bukan, bukan itu. Matamu sembab, Shinta. Padahal aku belum menyodorkan cincin yang minggu lalu aku beli di Singapura. Aku juga belum berkata apa-apa tentang rencana kedatangan orang tuaku ke rumahmu. Aku belum sempat berucap apa pun sore itu. Namun kau datang dengan matamu yang sembab. Duduk di depanku, meletakkan cangkinganmu di samping kursi lalu diam. Aku pun diam menunggu ketenangan di deru nafasmu.

"Rah? Apakah Salwa benar-benar mencintai Amba kala itu?" tiba-tiba kau melahirkan kata. Namun pertanyaanmu begitu ganjil kala itu.

Salwa memang benar-benar mencintai Amba, Shinta. Namun harga diri seorang laki-laki kala itu memang harus ditentukan lewat pertempuran. Dan Salwa memang kalah tanding dengan Bhisma, jawabku kala itu. Lalu entah mengapa kamu langsung menggebrak meja. Hujan jatuh di sudut matamu. Seketika kau tutup wajahmu kala itu. Aku pun tenggelam bersama kisah sedihmu.

"Tapi kenapa, Salwa tidak memperjuangkan cintanya pada Amba? Dan membiarkan Amba terombang-ambing dengan rasa bersalahnya. Apa itu bukti cinta Salwa?" pertanyaanmu sontak membuatku terdiam Shinta.

"Ataukah Bhisma juga sebenarnya mencintai Amba?" pertanyaanmu yang ini semakin menenggelamkanku dalam kediaman. Aku tak mengerti maksudmu sore itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline