Lihat ke Halaman Asli

Sapta Arif

Penulis

Di Hari Senja Tak Kunjung Mereda

Diperbarui: 1 Maret 2018   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apa yang kau tahu soal perempuan?"
"Apa yang kutahu? Maksudmu?"
"Ayolah Rah, tidak semua perempuan sama dengan yang kau gambarkan dari batok kepalamu itu. Tidak semuanya."
"Ehm... Iya, aku paham. Tapi..."
"Dan tidak semua hal yang kau pahami itu, adalah jawaban yang harusnya kau lontarkan."
"Eh.. Sebentar, sebentar. Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu."
"...................................... kapan kau bisa benar-benar mengerti, Rah?"

Kau adalah gelisah pertama yang diciptakan oleh Tuhan padaku. Di tubuhmu, aku kerapkali merasakan kelahiran yang berulang. Kelopak mata yang menyimpan gerimis yang kekal, pipi halus-licin yang menggelincirkan segala duka di dada. Dari sanalah aku kerapkali meramu cerita di dapur kepalaku.

Namun sore itu ada yang berbeda darimu, sepiring cerita yang sudah siap disajikan, tiba-tiba harus kubuang sia-sia, lantaran kau mengambil alih peranku di sana. Bercerita di sebuah kedai dengan secangkir kopi, senja, pantai, dan kamu.

"Lalu, apakah Srikandhi itu mencintai Bhisma?" Pupil matamu membesar berharap aku meng-iya-kan pertanyaanmu.

"Tentu tidak!"

"Bagaimana mungkin? Katamu Srikandhi adalah jelmaan Amba kan?"

"Iya si, tapi gini lhoShin..."

Ssssttttt. Kau merapatkan telunjukmu di bibirku. Sekarang giliranku bercerita, ucapmu.

***

Senja itu Kuru Seta menggelegar, banjir darah, petir, dan angin menggelar pesta anggur di sana. Langit penuh warna, ada yang merah bersimpah darah, ada yang biru dengan percikan oranye, ada juga warna hitam kelam disertai kilat yang begitu ganas. Bebatuan, pohon-pohon, telaga, binatang, hingga langit akan menjadi saksi: ribuan orang yang adu kekuatan untuk membuktikan siapa yang paling pantas bertahta di Astinapura. Kau tentu paham cerita ini kerapkali diceritakan oleh kakek-nenek kita, namun bukan perang baratayudha yang akan kuceritakan, sebuah cerita tentang Amba dan Bhisma.

Di sudut sebuah pertempuran waktu itu, Bhisma kokoh berdiri di atas kereta perang. Dia menunggu muridnya-Arjuna, datang menantang. Tangan kirinya menggenggam busur panah dan sebuah anak panah diambil dari punggung. Kemudian ia melihat sejurus kilat mendekat di depan kereta kudanya. Srikandhi datang menantang sang pendeta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline