Saya menemukan sirkuit tanda yang kontras tapi menakjubkan di Manado. Seorang pendeta yang sedang berkhotbah di hadapan jemaat-nya di salah satu saluran TV umat Kristiani mengucapkan kata la ilaha illolloh di sela khutbahnya. Tidak hanya sekali, tapi dua kali!Selanjutnya, seorang cucu habib ternama yang setiap malam rabu menggelar pengajian di rumahnya berteriak lantang “Yesus, saya datang!” di puncak Bukit Kasih, tempat yang konon menjadi simbol kerukunan umat beragama di Manado. Kedua-nya menampakkan jalinan tanda yang unik, kontras, tetapi juga sangat reflektif! Pendeta-jemaat gereja, dan lailahaillah adalah sirkuit tanda yang sangat kontras, begitu pula jalinan tanda cucu habib- Yesus! Tanda-tanda ini menjadi kontras dan unik karena diucapkan oleh orang yang memiliki penanda keagamaan yang cukup kuat, pendeta dan cucu habib!
Tentu saja ini bukan pengalaman pertama saya mendengar orang Kristen mengucapkan idiom suci Islam semisal insya Allah, la ilaha illa Allah, alhamdullillah dsb. Saya punya beberapa orang teman Kristen yang terbiasa mengucapkan kata-kata itu. Begitu juga sebaliknya, seorang muslim biasa menyebut nama Yesus atau haleluya! Namun pengalaman di atas bagi saya tetap unik (terutama sang pendeta) karena diucapkan dalam situasi formal, di depan jemaat yang sedang beribadah bukan di warung kopi.
Saya ingin menyebutnya sebagai penyerapan multikultural! Sebuah istilah yang mungkin tidak punya basis teoritik sama sekali. Jalinan tanda suci antar agama bisa dipertukarkan tanpa paksaan melalui proses penyerapan kebudayaan yang berlangsung tanpa batas di wilayah sosial. Sang pendeta mungkin saja tidak mengerti makna kata la ilaha illa llah, demikian pula cucu habib yang tidak mengerti Yesus itu siapa? Kedua tanda ini saling bertukar begitu saja sebagai hasil dari proses sosial yang berdialektika secara terus-menerus! Pertukaran tanda suci –akhirnya- tidak bisa dihindarkan karena proses dialog secara diam-diam telah terjadi, tanpa paksaan sama sekali.
Situasi multikultural menyebabkan kita mudah menyerap simbol orang lain, sebagai bagian dari kebiasaan kita. Si cucu habib tinggal di Manado, tempat mayoritas umat Kristiani. Simbol Yesus pun mudah ditemui dan diperbincangkan oleh masyarakat termasuk yang beragama Islam. Yesus bagi si cucu habib mungkin hanyalah permainan semantik yang menghibur dan menarik untuk diteriakkan. Makna Yesus bagi anak itu tentu tidak se-sakral penganut agama Kristiani. Begitu pula, idiom la ilaha illa llah bagi pendeta adalah tuturan populer dan tidak bermakna sakral. Idiom suci itu secara kasat mata memang turun harga. Kehilangan makna orisinalnya. Tapi memunculkan makna baru, yaitu keintiman sosial!
Begitulah seharusnya hidup di ruang budaya yang dipenuhi dengan perbedaan. Melarang orang lain untuk menggunakan tanda atau idiom kita rasanya tidak mungkin. Ini karena, idiom keagamaan (terutama kaum mayoritas) biasanya digunakan tidak dalam konteks keagamaan tetapi sosial. Misalnya kata la ilaha illa llah biasanya diucapkan secara spontan sebagai ekspresi kekagetan. Insya Allah diucapkan sebagai pengikat janji dan seterusnya. Penggunaan idiom ini lambat laun berubah konteks dari idiom keagamaan menjadi idiom kebudayaan. Perubahan ini akhirnya mengikutsertakan seluruh orang dalam ruang kebudayaan itu, apa-pun agama-nya, untuk ikut menggunakan idiom itu dengan cara yang sama. Jadi, ketika ada orang lain menggunakan idiom keagamaan kita, atau sebaliknya jangan terburu-buru menganggapnya sebagai pelecehan agama. Yakin-lah, itu wujud dari keakraban dan keintiman yang tidak merusak sendi keagamaan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H