Kekerasan seksual merupakan masalah yang sangat serius dan tidak memandang bulu. Korban dan pelaku dari kekerasan seksual ini bisa terjadi kepada semua kalangan baik anak-anak, perempuan dan laki-laki. Berkaca dari data Kementerian PemberdayaanPerempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terdapat 5.488 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFD Tahun 2020 menyatakan bahwa sekiranya ada 33% laki-laki di Indonesia yang mengalami pelecehan seksual (Putri, 2021: 15).
Kasus kekerasan seksual ini sendiri menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Hal ini karena, kekerasan seksual ini sendiri tidak hanya terjadi pada kalangan perempuan, tetapi juga pada anak-anak. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2022 terdapat 3.048 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan remaja (Komnas Perempuan, 2022). Weber dan Smith (2010) mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Selain itu, kebanyakan anak yang mengalami kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang disebut Post-Traumatic stress disorder (PTSD) gejala-gejala berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Selain itu menurut Beitch-man, dkk. (Tower, 2002), anak yang mengalami kekerasan seksual membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain, maka dari itu kekerasan seksual ini menjadi salah satu isu kesehatan di masyarakat Indonesia (Noviana, 2015: 19).
Dari berbagai kasus diatas, hendaknya bisa menjadi rambu-rambu tersendiri bagi semua pihak untuk bisa melakukan pencegahan dan meminimalisir agar kasus kekerasan seksual ini tidak meningkat setiap tahunnya. Dalam ranah pendidikan, perlu kiranya tindakan preventif atau pencegahan yang bisa dilakukan oleh semua stakeholder. Dalam hal ini, guru tentunya mempunyai peran yang sangat vital untuk bisa memberikan pendampingan yang intensif mengenai edukasi seksual terhadap anak, terlebih selama dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Yafie (2017: 23), tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya.
Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugerah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya anak-anak itu bisa
belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu yang tertentu saja. Menurut Widjanarko (1994), pendidikan seksual yaitu suatu upaya mendidik dan mengarahkan perilaku seksual secara baik dan benar. Dalam hal ini berarti perilaku seks menekankan aspek fisik maupun psikis mengakibatkan seks yang sehat baik bagi diri maupun orang lain. Oleh karena itu, Pendidikan seks sangat penting diberikan kepada anak, hal ini bertujuan agar anak mendapat informasi dan pengetahuan sehingga dapat mencegah anak dari kemungkinan terjadinya kekerasan seksual.
Di sekolah, guru memiliki peran yang sangat strategis dalam memberikan pendidikan untuk mencegah kekerasan seksual, salah satunya dengan cara mendidik peserta didiknya dengan empati. Mendidik dengan empati berarti mengembangkan kemampuan untuk memahami, menghargai dan merespon perasaan, kebutuhan dan pengalaman peserta didik. Seorang guru harus mampu memahami dan menghargai perasaan peserta didiknya, sehingga anak tersebut merasa nyaman saat berbagi pengalaman atau perasaan mereka. Hal ini karena, mendidik dengan empati memberikan banyak manfaat bagi peserta didik terutama dalam mencegah kekerasan seksual, diantaranya peserta didik memahami perasaan dan batasan pribadi, memahami dan menghargai perasaan orang lain. Peserta didik akan menjadi lebih sadar akan hak dan kewajiban mereka. Mendidik dengan empati akan membangun hubungan yang positif dan kuat antara guru, sehingga dengan hal ini peserta didik senantiasa merasa aman dan nyaman dalam berbagi pengalaman dan perasaan kepada gurunya.
Referensi :
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2022). Laporan Tahunan Kekerasan Seksual.
Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact and Hendling. Jurnal
Sosio Informa, 1 (1), 13-28.
Putri, A.H. (2021). Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelecehan Seksual di Indonesia. Jurnal Hukum Pelita, 2 (2), 14-29.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H