Lebih dari 400 hari menjelang kontestasi politik akbar di Indonesia, ada sebuah tantangan khusus dalam me-rekonsolidasi politik di era pasca reformasi. Hal ini imbas dari adanya kontestasi politik yang terjadi beberapa waktu lalu, khususnya Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 dan 2019, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2017.
Demokrasi prosedural yang selalu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, selalu menghadapi sebuah warna baru dari popularitas hingga konflik politik dari individu sebagai calon maupun kelompok sebagai basis pendukung. Masalah lain yang turut mewarnai krisis demokratisasi ialah peran institusi politik dan para politisi 'legislator' tidak menawarkan gagasan konstruktif, melainkan semakin menguatnya money politics.
Setelah kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden yang berhasil menjalankan kekuasaan selama 2 periode sejak 2014 sampai 2019, para elit 'oligarki' dengan segera merekonsolidasi untuk mencari kandidat potensial. Representasi politik yang dibangun ketika itu dari Joko Widodo (Jokowi) sebagai tokoh populis teknokratis dan Prabowo populis tradisional bercorak ultra-nasionalis menjadi vis a vis identitas politik yang mewarnai wacana dan fenomena politik di Indonesia. Selain itu, terdapat pula stigmatisasi seperti "cebong" dan "kampret" yang telah menimbulkan sentimentalitas dan polarisasi politik sangat tajam di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kancah kontestasi politik lokal, DKI Jakarta menjadi sorotan utama dalam perkembangan demokrasi dikarenakan terdapat 'permainan' isu politik identitas yang ditujukan kepada calon petahana yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melawan Anies Baswedan. Ketika itu, Anies berhasil menggalang suara yang sangat kuat dari kalangan mayoritas Islam yang merupakan trigger dari kontroversi tentang penistaan agama yang menjadi tesis dari kekalahan dan diskriminasi terhadap Ahok dan berkembangnya demonstrasi massa seperti Aksi Bela Islam 411, 212, dan 221 di Jakarta.
Urgensi dan Krisis Demokrasi di Indonesia
Secara konsep, demokrasi berasal dari kata Yunani yaitu demos berarti rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa atau di-definisikan sebagai rakyat berkuasa atau government by the people.
Demokrasi telah mendorong dengan adanya peran vital dalam roda kekuasaan dan positioning pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan harus beriorientasi kepada kekuasaan yang bersumber dari rakyat. Demokrasi pada dasarnya ialah menjamin kebebasan yang diterima oleh individu maupun kelompok yang telah dijamin dalam HAM dan harus di-aktualisasikan oleh negara.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menyebutkan bahwa dalam 9 tahun terakhir Indonesia mengalami kemerosotan demokrasi berdasarkan data dari Freedom House sejak 2013 sampai 2022 yaitu 65 di 2013 dan 59 di 2022.
Aspek penting yang disorot oleh Freedom House ialah kebebasan. Terdapat dua indikator utama kebebasan yang dipakai oleh Freedom House yaitu political rights (hak-hak sipil) seperti pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil ada check and balances, dan civil liberties (kebebasan sipil) seperti kebebasan untuk berbicara, berekspresi, beragama, berserikat, pers, dan perlindungan terhadap kaum minoritas.
Berdasarkan Indeks Perdamaian Global atau Global Peace Index (GPI) dirilis oleh Institute for Economics & Peace (IEP) Indonesia berada di peringkat 9 dari 19 negara Asia-Pasifik dan urutan ke-49 dari 83 negara di dunia dengan skor 1,831 poin.
Dalam konteks politik, demokrasi telah melahirkan term populisme sebagai dua sisi wajah dalam tatanan kekuasaan di suatu negara. Populisme telah menjadi spirit baru yang tidak hanya bersifat konstruktif tetapi juga memiliki kerentanan terhadap disrupsi demokratisasi.