[caption id="attachment_374280" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - peternakan. (KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM)"][/caption]
Seminggu yang lalu saya mengikuti sebuah seminar internasional tentang peternakan di Bretagne, Perancis. Seminar ini membahas tentang kemampuan adaptasi ternak terhadap perubahan iklim global. Di dalam seminar ini terdiri dari kuliah, workshop, dan kunjungan ke kandang. Di dalam seminar, kita dibagi ke dalam grup, dan setiap grup berkunjung ke sebuah peternakan di Perancis. Grup saya terdiri dari mahasiswa Prancis, Belanda, Meksiko, dan Brazil. Kami berkunjung ke peternakan babi.
Peternakan babi yang kami kunjungi sekitar 40 km dari Kota Rennes, atau sekitar 30 menit ditempuh dengan mobil. Peternakan yang kami jumpai berada di tengah lahan pertanian yang sangat luas. Di depan kandang terparkir sebuah traktor besar dan juga mobil pribadi. Tampak dari luar bangunan peternakan itu tidak mirip kandang, kelihatannya adalah seperti rumah tua yang tidak berpenghuni. Aroma ternak juga tidak tercium di sana. Beberapa ekor kuda yang cantik sedang merumput di belakang kandang. Setelah saya selidiki ternyata kuda itu ditunggangi oleh pemiliknya sekali seminggu untuk keliling kampung.
Setelah sampai di lokasi kandang, grup saya diterima oleh seorang laki-laki bertubuh kekar berusia sekitar 40-an tahun. Rupanya dia adalah pemilik kandang babi yang kami kunjungi. Dia menceritakan bahwa dia mewarisi peternakan babi itu dari kedua orangtuanya. Saya baru tahu bahwa petani dan peternak di Prancis harus pensiun dari pertaniannya pada usia tertentu. Kedua orangtua laki laki ini adalah petani peternak dan sudah benar-benar pensiun dari peternakannya dan sekarang menikmati hari tuanya. Dia menjadi petani karena sejak kecil dia diajak oleh orang tuanya ke lahan pertanian dengan naik traktor dan memberi ilmu pertanian sedikit demi sedikit. Dia telah dipersiapkan oleh orangtuanya untuk mewarisi lahan pertanian yang mereka miliki.
Saya sangat terkesan dengan pengelolaan peternakan itu. Lahan pertanian yang dimiliki sekitar 50 ha, menyediakan pakan untuk ternaknya sekitar 60% dari yang dia butuhkan. Limbah yang dihasilkan dari peternakannya disebar ke lahan pertanian setelah diolah sedemikian rupa. Limbah ini tidak disebar begitu saja, tetapi dengan traktor dimasukkan ke dalam tanah dengan kedalaman tertentu. Hasilnya kita tidak akan mencium bau limbah ternak. Protes dari sekitar juga semakin kecil. Di dalam kandang, dengan sistem tertutup udara juga disaring sebelum dilepas ke luar kandang, sehingga peternakan ini sangat ramah lingkungan.
Masalah harga juga tidak menjadi persoalan di peternakan ini, peternak di daerah Bretagne memiliki koperasi dan juga pasar ternak. Harga mereka tentukan dua kali dalam seminggu sesuai dengan perobahan harga pakan. Dalam mengelola peternakannya, ada juga asosiasi peternakan yang secara rutin mengunjungi anggotanya dan berdiskusi tentang masalah yang dihadapi. Masalah efisiensi di kandang dan masalah pemasaran tidak menjadi persoalan di Prancis ini, tetapi hal sebaliknya selalu saya amati di Indonesia. Sehingga keuntungan peternakannya sangat ditentukan oleh efisiensi pakan dan rendahnya mortalitas. Penerapan manajemen dan teknologi di dalam peternakan sudah sangat baik.
Selain alasan beternak sangat menguntungkan, kami mencoba menggali alasan dia tetap bertahan menjalankan peternakan itu. Dia mau menjadi peternak karena hidupnya akan mandiri, dan tidak ada yang mengatur pekerjannya. Dia lebih senang bekerja sendiri daripada menjadi karyawan perusahaan. Kemudian alasan yang dia berikan adalah menjadi petani mempunyai banyak waktu untuk menikmati hidup dan bisa meningkatkan kualitas hidup dan bertemu dengan keluarga. Dia mengelola lahan pertanian dan peternakannya sendirian dengan sistem serba otomatis dan bantuan mesin. Seandainya di Indonesia, mungkin peternakan sebesar ini akan diurus oleh 12 orang dengan cara manual.
Mudah-mudahan peternak seperti inilah yang diharapkan yang berkembang di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa menjadi peternak atau petani di Prancis adalah menjadi orang yang mapan. Saya juga baru tahu, bahwa anak petanilah yang diprioritaskan menjadi petani. Pemerintah Prancis juga membatasi luas wilayah yang dimiliki oleh seorang petani. Saya berharap pemerintah juga membangun sistem yang mengarahkan peternak dan petani berpikir tentang kualitas hidup yang lebih baik. Penggunaan manajemen dan penggunaan teknologi menjadi mutlak dibutuhkan di dalam peternakan masa depan di Indonesia.
Ahoy... Ahoy...Ahoy...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H