Lihat ke Halaman Asli

Saia - Djenar Maesa Ayu

Diperbarui: 28 Desember 2016   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adaptasi dari sebuah buku berjudul SAIA karya Djenar Maesa Ayu.

SAYAT

Aku bingung, rasanya aku ingin pergi sejauh yang aku bisa. Bahkan kalau perlu tidak akan pernah kembali. Perlakuan mereka seperti membungkam mulutku. Sesak! Aku tidak bisa bernafas. Ini neraka! Bayangkan, puluhan pasang mata itu seperti mengulitiku dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Aku ingin lari. Aku sudah bosan dicerca pertanyaan, “Kamu jatuh lagi? Luka apa kali ini? Mengapa lebam di pipimu semakin membiru?” Enyahlah!

Dia, lelaki itu menawarkanku minum. Bagaimana aku bisa menerimanya? Sedangkan membuka rahangpun aku tidak mampu. Bagaimana aku bisa mengucapkan terima kasih? Tersenyumpun aku tak sanggup. Inginku lempar saja botol di tangannya hingga mengenai wajah tampannya itu. Biar dia mengerti, rasa sakit yang dia terima saat hantaman barang-barang itu tidak lebih sakit daripada rasa sakit yang aku terima.

Inginku pulang. Tapi pulang kemana? Ada yang bilang, rumahku surgaku. Kalimat sampah itu tidak berlaku bagiku. Rumah itu surga bagi mereka, tapi tidak bagiku. Neraka jahanam yang terasa amat panas, menyakitkan, dan sama sekali tidak berperikemanusiaan. Aku bukan hewan yang hanya diam saat ketidakadilan menghampiriku. Temanku, tolonglah aku.

Setidaknya temanku itu tidak pernah menyela perkataanku. Dia lebih memilih diam di sudut ruangan, tersenyum, dan mendengarkan curahan hatiku. Setidaknya dia tak mengulitiku seperti yang lain. Dia juga tak pernah menyentuh kulitku dengan cambuk, tinju, maupun menyayatku. Seujung kuku pun tak pernah dia menyakitiku. Hanya dia, yang tak pernah berbicara. Entahlah, mungkin karena kasihan, dia pun rela bersimbah darah bersamaku.

Nilai tertinggi bidang Seni, Bahasa, dan Sejarah tidak berarti apapun bagi mereka. Aku tidak mengharapkan baju, sepatu ,ataupun sepeda baru. Hanya perhatian mereka dan rasa bersyukur memilikiku yang aku harapkan. Sayangnya, aku hanyalah menusia yang penuh rasa harap, realita dunia yang begitu kejam tidak berpihak.

Ampun Tuhan, aku mohon undang aku ke surga.

Aku masih ingat peristiwa itu. Suatu hari ketika aku pulang sekolah,

“Kenapa sepatu kamu masih ada di depan pintu?”

Aku membisu.

“Kamu lupa taruh lagi di rak sepatu?!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline