Lihat ke Halaman Asli

A Muntaha Afandie

Berkelana di padang kata dan samudera makna

JUTAAN NYAWA DI CANGKIR KOPI

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1432218081756520424

Rupanya, jutaan nyawa warga negeri ini berada di cagkir kopi.

Saya datang di Tunisia tanggal 28 Desember 2013, sepekan sebelum ujian semester satu. Telat! Bahkan proses herregistrasi saya baru selesai satu hari sebelum ujian. Sebab, prosesnya harus ke Kemendikti, baru ke kampus.

Hampir saja saya tidak bisa ikut ujian karena KTM belum keluar. Alhamdulillah, Tuhan selalu berpihak pada penuntut ilmu: setelah lobi sana-sini, mulai shu'un thalabah (bagian kemahasiswaan) sampai dekan, saya bisa masuk ruang ujian dengan surat sakti katib am. Alhasil di hari pertama ujian saya telat masuk. Ngenes.

Itu terjadi di bulan Januari 2014. Januari merupakan puncak musim dingin di negeri ini. Berbalut selimut dan jaket tebal, plus bantal, merupakan godaan terberat! Tapi saya harus melawan! Bagiku ini bagian dari "jihad akbar", melawan nafsu. Jarak kampusku, di Provinsi Manouba, dan tempat kosanku, di Tunis, menuntutku bangun pagi.

Saat sebagian masjid masih memutar kaset (sebagian besar suara asli) azan subuh, saya sudah memperagakan jurus saipi angin Arya Kamandanu: berjingkrak-jingkrat menuju stasiun metro terdekat. Malam lebih panjang di musim dingin negeri empat musim.

Awalnya, saya berpikir pukul 6:30 lebih beberapa menit masih terlampau dini untuk beranjak pergi kebalik daun pintu. Ternyata dugaanku salah, setelah kaki meninjak pasar tradisional Sidi Bechir, pedagang kaki lima sudah mulai menata barang jualannya. Mengadu nasib, mengais recehan.

Saya sempat tertegun beberapa saat. "180° terjungkir dari kondisi Libya, negeri asing pertama tempat saya mengarungi pengembaraan intelektual," bisikku pada angin pagi.

Ya, negara tetangga yang sedang "menikmati" huru-hara pasca-Qaddafi, virus malasnya sudah menembus--melampaui--tulang sumsum. Entah sudah menjalar kemana (mana).

Namun, kekaguman saya pada keuletan orang Tunis mengais rezeki, tiba-tiba terusik setelah kaki melangkah beberapa meter. Tak jauh dari pusat kemacetan akibat pasar tradisional itu terdapat café le parlemént, sudah padat penghisat asap dan cairan hitam atau hitam kecokelatan: chicha dan kopi. Kafe penuh. Begitu juga ketika saya pulang, terkadang menjelang magrib, kursi-kursi kafe itu masih sulit bernafas karena diduduki pantat-pantat big size.

Pemandangan semacam ini, saya saksikan saban lima hari dalam seminggu. Hari kuliah. Kafe le parlement bukan penampungan tunggal penikmat kopi di pagi sampai malam hari. Masih ada lagi di dekat tempat tinggal saya dan dekat stasiun Barcelone.

"Itulah sarapan pagi kami," kata seorang teman ketika kutumpahkan rasa penasaranku padanya. "Saya sendiri sangat suka kopi. Adalah keharusan meminjm kopi sebelum masuk ruang belajar," lanjutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline