Lihat ke Halaman Asli

A Muntaha Afandie

Berkelana di padang kata dan samudera makna

Membumikan Dakwah Santun Wali Sanga

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia bukan showroom untuk jualan ”buah.” Tapi ”lahan” subur untuk ”bercocok tanam” agar bisa menghasilkan ”buah” yang berkualitas baik. Juga ”bercocok tanam” aliran kepercayaan. Masing-masing agama—baik jelas maupun samar-samar– punya misi yang sama: menyebarkan agamanya pada masyarakat Indonesia. Di Kristen ada kristenisasi, Islam punya istilah sendiri; dakwah.

Bagi yang memahi bahwa dakwah Islam ”harus tegas,” bacalah sirah nabawiyah. Bagi yang mengimani Islam ”yang keras,” bacalah sirah nabawiyah.  ”Dakwah Islam bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan: khurafat, bid’ah, dan tahayul. Semua itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Dengan cara apa dan bagaimana pun.”
Jika du’at, misionaris Islam (meminjam istilah Nasrani, tentu), berpikiran sesempit itu, tak ada kesimpulan kecuali dakwah Islam ialah pemaksaan. Dalam berdakwah seakan mengesankan boleh melakkukan ”pembunuhan” di jalan Tuhan—secara gebyah uyah.
Kita mulai dari sirah nabawiyah, terutama pada bagian Sulhu Hudaibiah. Peristiwa yang bermula akhir tahun ke enam Hijriyah. Pada saat itu, nabi beserta 14 ribu kaum muslimin pergi umrah. Tapi langkah 28 ribu kaki itu terhenti: mereka dilarang masuk ke tanah suci Makkah oleh suku Quraisy—pemegang status quo Ka’bah.
Nabi sosok yang, dalam Alquran dikatakan sebagai, uswah hasanah tidak mau mengambil keputusan brutal, perang. Ia mengutus Utsman Ibn Affan untuk mengklarifkasi muasal penjegalan dirinya beserta rombongan. Setelah lama menanti, bukan Umar yang datang, tapi kabar kematiannya. Nabi ”risau” dan umatnya marah. Dalam pada itu, tersebar kabar, nabi akan membaiat kaum muslimin untuk berperang (ala al maut). Jabir Ibn Abdullah meluruskan: nabi tidak membaiat kita untuk berperang, tapi mengambil ”sumpah” kita agar tidak mundur. Sampai datang berita susulan; kabar kematian Umar tidak benar.
Dan datang Suhail Ibn Amr, juru bicara suku Quraisy, untuk mencari jalan keluar terbaik, agar bisa terjalin hubungan baik. Dari pertemuan keduanya lahirlah ”piagam” Sulhu Hudaibiah. Dalam membuat naskah Sulhu Hudaibiah terlihat nabi tak pernah memaksakan naskah versi dia. Meskipun dia yang mendiktekan naskahnya tapi ketika Suhail “mengintrupsi,” ia Saw mengalah dan memerintahkan Ali untuk menulis naskah versi Suhail.
Nabi memerintah Ali untuk menuliskan ”Bismillah ar rahman ar rahim,” Suhail intrupsi karena ia tidak tahu kalimat tersebut. Akhirnya, dituliskah, bismika allahumma. Usulan dari suhail. Begitu juga kalimat ”Hadza ma sholaha ‘alaihi Muhammad rasulullah Suhaila ibni Amrin,” nabi juga mengalah dan mengganti”Muhammad rasulullah” dengan ”Muhammad Ibn ‘Abdillah.”
Bahkan dalam isi islah Hudaibiah, nabi juga mengalah untuk (1) mengembalikan suku Quraisy yang datang padanya tanpa mendapatkan izin dari orang tua, tapi (2) ia tidak berhak menuntut suku Quraisy agar mengembalikan pengikutnya yang masuk ke dalam suku mereka.
Nabi mengalah bukan berarti kalah. Tapi mengalah untuk kemenangan umat Islam. Dakwah tanpa darah. ”Li nasyri da’watihim bi aman,” kata Al Zantani. Bagi dosen Sirah An Nabawiyyah Kulliyah Ad Dakwah Al Islamiyyah Al ‘Alamiyyah Libya itu, seorang mukmin yang kuat imannya tidak akan melepaskan aqidahnya meskipun ia hidup di tengah-tenggah suku Quraisy. Dengan sikap lembut nabi, pasca-Suhlu Hudaibiah, jumlah pemeluk Islam membludak berlipat ganda dari dakwah nabi sebelumnya, 15 tahun. Dakwah santun lebih mudah diterima, tentunya.
Sekarang kita beralih ke dakwah di tanah air. Bila menengok siklus dakwah di Indonesia, ada dua ”lakon” dewan da’i yang satu sama lain bertolak belakang baik dalam metode maupun ghoyah-nya.
Pertama, sejarah menampilkan dakwah Tuanku nan Reneh yang kaku terhadap adat istiadat lokal. Sikapnya yang kaku mendapatkan dukungn dari tiga orang dai yang baru pulang dari tanah suci: Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.
Untuk memuluskan misi dakwahnya, mereka membentuk Forum Delapan Pemuka Masyarakat. Forum yang diketuai Tuanku nan Reneh itu beranggotakan: (1) Tuanku Bansa, (2) Tuanku Galung, (3) Tuanku Lubuk Aur, (4) Tuanku Padang Lawas, (5) Tuanku Padang Luar, (6) Tuanku Kubu Ambelan, (7) dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut ”Harimau nan Salapan” atau Delapan Harimau. Sejak itu, ceramah agama berisikan seruan untuk menjauhi maksiat. Bagi FDPM, Islam tidak bisa bercampur aduk dengan budaya lokal, Islam harus dipurufikasi— dari adat-istiadat. Cara delapan harimau memberantas kemaksiatan tidak ”bersahabat,” lain dengan dewan wali songo. Alih-alih mendapat sambutan masyarakat, malah menuai tantangan keras dari kaum adat. Akhirnya, meletuslah Perang Padri.
Kedua, sejarah mengabadikan dakwah dewan wali nan sembilan di tanah Jawa. Bila dakwah FDPM tidak berkompromi dengan budaya lokal (dan berupaya menghapusnya dengan cara brutal), sebaliknya dakwah dewan wali sembilan di tanah Jawa justru mengakulturasi budaya-agama: menghapus budaya lama dengan cara yang ramah; pperlahan tapi pasti. Jalan yang (ditempuh wali songo) sesuai dengan tuntunan Alquran.
Dalam istilah saya metode dakwah Forum Delapan Pemuka Masyarakat itu  adalah ”mejual buah.” Mereka menjual ”buah” Isalm yang ditanam di Arab. Istilah yang lebih merakyaknya: Arabisasi. Delapan tokoh masyarakat mencoba meng-arab-kan tanah Minangkabau. Padahal tidak selamanya ”Islam Arab” cocok untuk ”Islam non-Arab.”
Dan metode dakwah wali songo saya beri istilah: bercocok tanam. Karena kesembilan orang dai itu tidak langsung menawarkan Islam yang “sempurna” dari tanah aslinya, Arab, tapi “menginfiltrasi” Islam melalui budaya setempat; Hindu. Islam yang diajarkan nabi, tentu. Menanamkan ”substansi” Islam terlebih dahulu, baru mengajarkan furu’iyyah-nya.
****
Dewan sembilan wali di tanah Jawa itu, di mata saya, adalah du’at yang melestarikan metode dakwah nabi yang mendapatkan bimbingan langsung dari Langit: ud’uu ila sabili rabbika bi al hikmah wa al mau’idlah al- hasanah wa jadilhum bi allati hiya ahsan. Ajakan dan tutur mereka halus (mau’idhah al hasanan) dan syiar panjang mereka berlangsung tanpa pedang (wajadilhum bi allati hiya ahsan). Semunya bisa berjalan mulus karena kepiawaian mengakulturasi agama-adat-istiadat. Menanam bibit, bukan menjual buah. Setelah itu, baru mengajarkan furu’iyyah Islam, juga seperti yang dilakukan nabi pada penduduk Yaman.
Laku wali songo tidak kaku. Mata mereka jeli melihat dan akal bekerja selaras. Dengan perpaduan itu wali songo berkesimpulan; penduduk tanah Jawa adalah ”lahan” bercocok tanam, bukan showroom jualan ”buah.”
Diantara anggota dewan wali nan sembilan yang terkenal pandai ”bercocok tanam” adalah Sunan Giri dan Sunan Kali Jaga. Bagi wali yang digambarkan tidak pernah berpakaian ala Arab itu, masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka, mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Pengejawantahan yang bijak dari firman Tuhan di atas.
Dalam mitologi sekaten nama Sunan Kali Jaga terpatri sebagai ”provokatornya.” Saat itu, tahun 1939 Caka/ 1477 Masehi, Raden Patah, Adipati Kabupaten Demak Bintara baru selesai membangun Masjid Demak. Untuk menarik minat masyarakat yang masih beragama Hindu digelarlah ”ritual sekaten” selamat tujuh hari menjelang hari kelahiran nabi.
Dalam menciptakan sekaten Sunan Kali Jaga (sebagai wali yang memiliki kemampuan ganda; seorang agamawan-seniman) terinspirasi oleh ritual Hindhu, Pasadran Agung. Nama Pasadran Agung diganti jadi ”sekaten,” derivasi dari ”syahadatain,” dua kalimat syahadat. Dalam sekaten, tidak ada lagi praktik ritual Hindu. Melainkan ”pentas seni” karya para wali: membunyikan gamelan karya Sunan Giri dan gending-gending buah pena para wali—khususnya Sunan Kali Jaga. Dan masih banyak lagi budaya lokal yang diakulturasikan dengan ajaran Islam, misalnya wayang dengan ”kalima sada-nya” (juga berasal dari ”kalimat syahadat”). Tapi artikel ini hanya fragmen, tidak mungkin menuliskan semuanya.
Yang sering dilupakan bahwa perayaan sekaten yang sampai sekarang masih dilestarikan di Yogyakarta tidak hanya mengandung nilai religius-budaya Jawa, tapi juga meningkatkan ekonomi kerakyatan. Apalagi Yogyakarta adalah salah satu kota tujuan wisata turis manca negara. Selain itu, tradisi Sekaten dapat jadi media revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai domestik (Nurfadilah, Religi dalam Sekaten Yogya. http://www.suaramerdeka.com, 10/02/2009).
Sedangkan dakwah dengan ”menjual buah” bukan membangun ekonomi, sebaliknya: melumpuhkan ekonomi. Selain mencoreng muka Islam sendiri. Berapa kerugian saat perang Padri berkecemut? Berapa nilai lembar rupiah yang ikut terbakar ketika bom Bali I dan II, JW Marriot I dan II mengamuk?
Lalu, dakwah manakah yang relevan dalam konteks Indonesia kontemporer, khususnya?
Jawabannya: dakwah yang bermanfaat pada semua hal.  Misal di atas sudah jelas, sekaten tak hanya bermanfaat dalam religius tapi meningkatkan ekomoni bangsa yang sedang poyang-paying. Membumikan dakwah santun wali songo di bumi manusia ini, sangat urgen, agar Islam tak jadi ”batu bata.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline