Lihat ke Halaman Asli

Santri

Mahasiswi IAIN Kendari

Gadai dalam Syariat Islam

Diperbarui: 2 Juli 2022   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gadai/Rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Sedangkan menurut istilah Syara' yang dimaksud dengan Ar-rahn adalah menjadikan suatu barang yang memiliki nilai pandangan Syara'sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil alih seluruh utang barang.

Gadai merupakan suatu sarana saling tolong menolong bagi umat muslim tanpa adanya imbalan jasa. Sehingga kemudian akad gadai ini dikategorikan kedalam akad yang bersifat derma (Tabarru), hal ini disebabkan karena apa yang diberikan rahin kepada murtahin tidak ditukar dengan sesuatu. Sementara yang diberikan oleh murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar dari barang yang digadaikan (Murtahin). Selain itu, rahn juga digolongkan kepada akad 6ang bersifat ainiyah, yakni akad yang sempurna setelah menyerahkan barang yang diakadkan. Sehingga kemudian dijelaskan bahwa semua akad yang bersifat derma dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu), sempurna Tabarru, kecuali setelah pemegangan. Selain itu, gadai ini juga termasuk kedalam jenis akad Musamma. Gadai hukumnya Jaiz (boleh) menurut Al-kitab, As-Sunnah, dan Ijma'. 

Berkenaan dengan akad gadai ini dijelaskan dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu Anhu "Bahwa sesungguhnya Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedang Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu". (HR. Bukhori Muslim).

Pendapat para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad Ar-Rahn dibolehkan dalam syariat Islam dengan berdasarkan pada ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Para ulama fiqih menyepakati bahwasanya rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan hadir ditempat, asal barang yang dijaminkan tersebut dapat dipegang atau dikuasai (Al-Qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang (Murtahin). Dalam hal ini, karena seperti yang kita ketahui bahwasanya tidak semua barang dapat dipegang atau dikuasai secara langsung, dalam keadaan tersebut maka paling tidak ada macam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status Al-Marhun (Menjadi agunan utang).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline